Kamis, 28 Oktober 2010

How to Train Your Dragon (2010)


Cast (voice): Jay Baruchel, Gerard Butler, America Ferrera, Craig Ferguson etc
Director: Dean DeBlois, Chris Sanders
Genre: Animatoin, Adventure, Comedy, Family
Overall: 8/10

Hiccup (Jay Baruchel) adalah seorang pemuda keturunan bangsa Viking dimana sang ayah merupakan petinggi di daerahnya. Namun jika dibandingkan dengan pemuda yang lainnya, Hiccup justru terlihat paling lemah dan tidak tampak seperti seorang keturunan bangsa Viking yang tangguh khususnya dalam melawan seekor naga karena di sini diceritakan bahwa bangsa Viking selalu bertarung melawan para naga. Namun dibalik penampilannya, justru Hiccup menyimpan satu kelebihan yang 'tak dimiliki oleh yang lain. Perlakuan terhadap naga yang dianggapnya salah berhasil ia luruskan dengan menerapkan beberapa cara yang ia temukan lewat seekor naga Night Fury bernama Toothless, jenis naga paling berbahaya yang berhasil ia jinakan. Dari sinilah dimulai usaha Hiccup untuk mengubah pandangan bangsa Viking terhadap naga selama ini termasuk membuktikan kepada sang ayah yang cenderung kecewa akan pribadinya.

Rugi dan menyesal, itulah yang saya rasakan ketika selesai menonton animasi ini. Bukan karena jalan cerita ataupun animasinya tapi lebih karena saya tidak menonton film ini dari awal-awal ketika film ini baru rilis. Saya memang termasuk salah satu yang kurang begitu semangat dengan produk-produknya Dreamworks, misal sebut saja Shrek dan Kung Fu Panda. Kedua film tersebut saya tonton jauh dari waktu rilisnya. Dan walhasil sama seperti yang saya rasa ketika menikmati How to Train Your Dragon (HtTYD), merugi karena telat.

Mengagumkan, itulah yang saya sematkan akan keseluruhan film ini. Fun factor yang dimiliki mungkin masih di bawah Shrek atau Panda namun dari segi cerita justru HtTYD jauh lebih enak untuk dinikmati. Dari awal hingga akhir intensitasnya tetap terjaga. Ceritanya benar-benar menarik. Dan yang paling unggul dari segala sisi adalah hasil dari animasi yang ada. Seperti yang saya sebutkan tadi, mengagumkan dan jika boleh saya bilang HtTYD adalah animasi tahun ini yang paling bagus dalam hal visualisasi sampai saat ini. Setiap gambar yang tersaji begitu detail dan indah. Dan rasanya akan lebih luar biasa jika menikmatinya lewat suguhan format 3D.

Mungkin ada beberapa diantara anda yang sama seperti saya, masih menunda-nunda untuk menonton film ini atau bahkan ada yang tidak tertarik. Mungkin bisa saja dikarenakan anda pecinta berat produk Disney-Pixar dan rasanya sedikit tidak rela film ini menuai pujian dimana-mana, mengingat juga Dreamworks adalah rival terberat dan sepertinya harus berhati-hati juga karena bisa jadi HtTYD akan jadi saingan berat Toy Story 3 (TS3) di ajang Oscar nanti. Saya akui HtTYD memang memiliki hasil animasi yang jempolan tapi jika dibanding TS3 dalam hal kisah, saya pikir lebih mengena animasi milik Diney-Pixar itu. Itu penilaian saya pribadi, tapi yang jelas jika anda menginginkan satu tontonan keluarga yang tidak hanya masuk bagi anak-anak saja tapi juga cocok bagi penonton dewasa, anda wajib mencoba mencoba animasi yang satu ini.

Senin, 25 Oktober 2010

Eternal Summer (2006)


Cast: Bryant Chang, Hsiao-chuan Chang, Kate Yeung
Director: Leste Chen
Genre: Drama
Overall: 7/10

Unsur seksualitas, saat ini memang sangat lumrah digunakan dalam sebuah film. Baik itu hanya sekedar tempelan belaka ataupun sebagai sajian menu utama. Penyajian secara normal atau heteroseksual tentunya sudah sangat umum, namun ada pula unsur yang dihadapkan pada penonton adalah sesuatu yantg boleh dibilang menyimpang, dalam hal ini yaitu homoseksual. Sudah banyak film yang menyisipkan ataupun sepenuhnya mengangkat tema yang masih dianggap tabu ini walaupun sebenarnya keberadaan homoseksual sekarang ini sudah mulai berani secara terang-terangan muncul kepermukaan. Termasuk di dunia film yang rasanya memang begitu banyak yang sudah hadir dan secara tidak langsung memberi tahu kepada kita tentang keeksisan kaum ini. Ada yang dibuat pure sensual belaka tapi tidak sedikit pula yang hadir dengan paket bermutu. Beberapa film bisa kita sebut seperti Maurice (1987), Brokeback Mountain (2005), Milk (2008) serta wakil dari Asia, No Regret (2006) dan Eternal Summer (2006).

No Regret pernah saya review sebelumnya dengan segala keberanian dan kejujurannya. Kini giliran Eternal Summer yang hadir dengan segala kesederhanaannya namun mengena. Bercerita tentang cinta segitiga lebih tepatnya cinta segitiga 'tak normal antara tiga sahabat Jonathan, Shane dan Carrie. Jonathan dan Shane sudah bersahabat dari bangku sekolah dasar, ketika memasuki sekolah menengah munculah Carrie yang diam-diam menyukai Jonathan hingga pada suatu hari ia mengajak Jonathan untuk menyewa sebuah kamar dan mengajaknya untuk melakukan hubungan intim. Namun entah mengapa tiba-tiba Jonathan menolak dan dari sini muncul kecurigaan Carrie yang mengisyaratkan bahwa Jonathan adalah penyuka sesama jenis dan di sini mungkin saja ia menyukai sahabatnya Shane. Waktu berjalan sampai mereka memasuki bangku kuliah, ketiganya masih menjalin persahabatan hanya saja kini Carrie menjalin hubungan bersama Shane tanpa diketahui oleh Jonathan, namun lama kelamaan hubungan mereka pun diketahui juga olehnya. Sakit hati dan kecewa menyelimuti Jonathan hingga akhirnya melakukan sebuah 'kenekatan' sementara itu rasa menyesal menyelimuti Shane dan Carrie hingga berbuah 'tindakan' Shane yang semakin memperburuk jalinan persahabatan mereka.

Bagi penonton umum, khususnya yang kurang begitu suka akan genre drama apalagi jika kita mengingat tema yang ada, walhasil mungkin rasa bosanlah yang akan didapat. Mengapa demikian? Ini dikarenakan oleh alur dari film ini berjalan dengan begitu perlahan, namun justru disinilah kuncinya. Dengan tidak terburu-buru, kita sebagai penonton akan lebih merasakan sisi emosional dari cerita yang ada dan kita pun seperti ikut terbawa oleh apa yang dirasakan dari ketiga tokoh utama. Dan hasilnya disini tentu saja, cara ini berhasil dalam menggali cerita dan pengembangan karakter secara maksimal. Ketiga tokoh utama pun menyatu hingga menciptakan chemistry yang pas. Satu lagi poin plus dari film ini adalah penggambaran sosok gay di sini tidaklah stereotype seperti yang diperlihatkan di film-film sejenis.

Eternal Summer memang sebuah tontonan pure drama. Dan bagi anda pecinta drama bermutu rasanya patut untuk menjajal film yang satu ini. Memang temanya tabu, tapi disini tidaklah dijabarkan dengan begitu gamblang namun hadir dengan porsi pas sehingga menciptakan suatu cerita yang terasa real dan mampu membuat penonton dengan mudah bisa menerima. Sederhana namun mengena, itulah Eternal Summer.

Rabu, 20 Oktober 2010

Aftershock (2010)


Cast: Jingchu Zhan, Chen Li, Fan Xu
Director: Xiaogang Feng
Genre: Drama
Overall: 5,5/10

Aftershock merupakan sebuah film yang ceritanya sendiri berdasarkan kisah nyata dimana China pernah diguncang gempa terbesar di tahun 1976. Dan film ini juga di buat berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Zhang Ling. Filmnya sendiri berkisah tentang sebuah tragedi yang menyebabkan satu kelurga terpisah karena bencana gempa. Gempa dengan kekuatan besar meluluhlantakan kota Tangshan dan memakan banyak korban termasuk keluarga Fang Qiang, dimana ketika ia hendak menyelamatkan anak kembarnya, malang ia malah tertimpa reruntuhan gedung sementara kedua anaknya pun ikut tertimbun di reruntuhan itu. Sang istri kemudian berusaha untuk menyelamatkan kedua anaknya yang didapati masih hidup, namun akhirnya ia dihadapkan pada keputusan yang teramat sulit untuk ia ambil.

Di awal film kita disuguhi oleh visualisasi gempa yang boleh dibilang cukup meyakinkan untuk ukuran film Asia. Namun jangan samakan dengan 2012 misalnya, karena memang sangat jauh (mungkin mengingat dari budget yang ada juga kali ya). Ceritanya sendiri tidak menitik beratkan pada tragedi gempa. Bencana tersebut hanyalah latar belakang untuk jalinan kisah yang akan disampaikan sepanjang film, dimana porsinya lebih banyak menyuguhkan drama keluarga sebagai sajian utama yang sayangnya hasil yang ada (bagi saya) justru membosankan.

Awal-awal film sebenarnya kita sudah disuguhi oleh kisah yang mengharu biru. Akan tetapi, setelah menuju cerita dua plot utama antara Fang Deng dan Fang Da yang beranjak dewasa, intensitas dari film ini terasa kedodoran dengan dipenuhinya durasi film oleh keseharian mereka yang sebenarnya tidaklah penting dan menarik. Film ini pun dieksekusi dengan kurang memuaskan dan itu terasa dari scene-scene yang dihadirkan dengan cepat hingga kesannya ingin segera menyudahi film yang durasinya sudah terlalu panjang itu. Hal ini semakin dibuat kecewa dengan dicomotnya tragedi lain sebagai penghubung kisah untuk membuat klimaks yang ada dan rasanya hal ini malah terkesan dipaksakan.

Aftershock bagi sebagian orang memang merupakan film yang begitu emosional namun bagi saya film ini termasuk yang mengecewakan khususnya dari segi naskah. Kendati begitu film ini masih menyimpan nilai yang cukup dari para pemainnya dalam menyampaikan emosi dari karakter yang mereka lakoni ke hadapan penonton. Menyimak Aftershock rasanya seperti menyaksikan serial drama Korea/China beberapa episode dalam satu waktu.

Sabtu, 16 Oktober 2010

New York, I Love you (2009)


Cast: Bradley Cooper, Andy Garcia, Hayden Christensen, Orlando Bloom, Christina Ricci, Natalie Portman, Ethan Hawke, Maggie Q, Julie Christie, Shia LeBeouf, etc
Director: Mira Nair, Natalie Portman, Brett Ratner, etc
Genre: Drama, Romance
Overall: 5,5/10

Ada satu film di tahun 2006 yang bagi saya film tersebut memang memberikan kesan tersendiri atas apa yang disuguhkan lewat jalinan kisah cinta beragam di kota yang disebut-sebut sebagai kota paling romantis yaitu Paris. Film tersebut disutradarai oleh beberapa sineas handal dan dibintangi oleh aktor/aktris yang tentunya menyedot perhatian para moviegoers. Film yang saya maksud bertajuk Paris, je t'aime.

Tidak memuaskan memang jika kita menengok hasil laba yang diperoleh film tersebut tapi harus kita akui Paris berhasil dalam menyajikan kisah cinta berkesan pada penontonnya. Mungkin berkaca pada apa yang diperoleh Paris pula dan berharap mampu menuai lebih, sang kreator Emmanuel Benbihy memutuskan untuk memulai proyek terbaru dimana konsepnya memang sama persis dengan menyajikan beragam kisah cinta dalam durasi pendek namun berbeda kota. Kali ini kota yang digali love story-nya adalah New York. Dan proyeknya ini diberi judul New York, I Love You.

Dari barisan cast, New York memang jauh lebih menarik dibanding Paris. Namun sayang hal tersebut tidaklah membuat filmnya sendiri ikut menarik dalam segi cerita. Beberapa segmen kisah cinta yang hadir, nyatanya terasa biasa dan kurang asyik untuk disimak. Ada satu yang membingungkan bagi saya datang dari jalinan cintanya Natalie Portman. Jujur saya tidak bisa menangkap maksud tujuan dari segmen yang satu itu. Meski begitu, ada juga beberapa bagian yang tidak mengecewakan seperti segmennya Anton Yelchin, kisah cintanya Shu Qi dan yang paling menarik sekaligus menggelitik datang dari pasangan udzur Eli Wallach dan Cloris Leachman.

Secara keseluruhan jika dibandingkan, New York memang tidak mampu melampaui bahkan menyamai hasil dari Paris. Sineas yang ikut andil memang terasa asing namun berhasil dalam mengarahkan aktor/aktris ternama yang direkrut, sayangnya hasil dari film ini justru tidak maksimal jika tidak ingin disebut gagal dalam memberikan kesan pada penontonnya. Meski kisah cintanya bervariatif namun terasa kurang menarik sehingga cenderung membosankan, mungkin hal ini ditambah pula oleh setting kota yang memang kurang begitu berasa atmosphere romantisnya. Kira-kira untuk kedepannya akan ada kisah-kisah kota cinta lagi kah? Mungkin sineas kita ada yang latah dengan membuat proyek sejenis dan mungkin saja proyek tersebut bertajuk "Jakarta, Aku Cinta Kamu".

Kamis, 07 Oktober 2010

Superhero Movie (2008)


Cast: Drake Bell, Sara Paxton, Christopher McDonald
Director: Craig Mazin
Genre: Action, Comedy
Overall: 4,5/10

Yang namanya film parodi memang tidak bisa dinilai akan kualitas yang dimilikinya. Karena toh apa yang ada didalamnya pun hanyalah dari beberapa film hits yang dicomot kemudian diplesetkan. Kesuksesan Scary Movie dalam mengemban misinya sebagai film parodi yang memplesetkan beberapa film horror sukses dan memang boleh dibilang berhasil dalam mengocok perut ditambah raupan dollar yang cukup tinggi akhirnya memunculkan beberapa film dengan konsep sejenis yang tentunya berharap dapat melebihi apa yang dituai Scary Movie paling tidak mungkin menyamai. Sebut saja Date Movie, Epic Movie, Disaster Movie, Meet The Spartan dan terakhir yang baru saya tonton adalah Superhero Movie.

Rick Riker adalah sang tokoh utama yang dilakoni oleh Drake Bell dimana ketika ia hendak memotret beberapa hewan di laboratorium tanpa disadari olehnya, seekor capung yang terkena radio aktif menggigitnya. Cukup sampai di sini saya menjabarkan premisnya, karena pada kenyataannya premis dari film sejenis ini tidak begitu penting bukan? Dan saya yakin dari sedikit premis tadi anda bisa menebak kisah apa yang diambil oleh film parodi yang satu ini.

Menyaksikan film parodi tentunya bagi sebagian penonton yang menganggap film bukan hanya sekedar hiburan semata adalah suatu bencana namun di sisi lain tidak sedikit pula penonton yang merasa terhibur bahkan dibuat puas oleh kelucuan yang ada. Masih ingat rasanya dengan film parodi yang saya tonton, Meet The Spartans yang begitu over dimana niatnya melucu malah hasilnya sangatlah tidak lucu.

Apa yang ditoreh Superhero Movie bagi saya ada sedikit nilai plus jika dibandingkan dengan para pendahulunya . Meski film dipenuhi oleh adegan slapstick nyatanya hal tersebut terasa beda dan nilai lucunya sedikit diatas film-film sejenis. Nilai plus yang saya maksud tadi boleh jadi karena tidak ditemukannya semacam adegan-adegan parodi seks yang cenderung jorok seperti yang saya dapat di Scary Movie atau pun tema-tema kontroversial yang diolok-olok seperti dalam Meet The Spartans. Alur ceritanya pun cukup asyik untuk terus diikuti karena tidak banyaknya hal-hal yang dirasa memaksa seperti yang saya temukan difilm parodi sebelumnya hingga akhirnya terkesan over.

Sulit memang untuk menilai film yang berada dalam teritory ini. Karena mengingat isinya hanyalah olok-olok, parodi, plesetan, tanpa adanya ide original dan kreativitas tentunya kita tidak dapat menilai bagus atau tidaknya film jenis ini. Tidak bagus itu sudah pasti. Mungkin lebih tepatnya hanya dua penilaian yang bisa kita ambil, lucu atau tidak.

Selasa, 05 Oktober 2010

Killers (2010)


Cast: Asthon Kutcher, Katherine Heighl
Director: Robert Luketic
Genre: Action, Comedy
Overall: 3/10

Sangsi memang ketika mengetahui nyatanya Killers bukanlah suatu tontonan komedi romantis melainkan film bergenre action yang dibalut oleh komedi. Lalu apa pasal sebenarnya yang membuat saya beranggapan bahwa film yang digawangi oleh Robert Luketic ini adalah film komedi romantis? Melihat dari poster yang memajang Kutcher dan Heighl sebagai cast utama bagi saya pribadi sudah bisa yakin akan arah dari cerita film ini meski judulnya sendiri menggunakan kata yang lumayan 'sangar'. Selain itu dengan melihat filmography dari sang pemain begitupun sutradara adalah orang-orang yang lebih banyak berkutat di jalur komedi.

Lupakan Heighl karena sudah jelas kehadirannya disini hanyalah sebagai pemanis belaka. Kutcher lah yang dirasa paling meragukan. Menengok banyak peran tipikalnya sebagai pemuda/pria bodoh nan ceria plus wajah ganteng rasanya sedikit ragu ketika harus berperan sebagai (mantan) pembunuh bayaran. Lalu bagaimana dengan Luketic? Apa jadinya action comedy besutannya ini? Meski pernah menangani 21 tapi rasanya film itu sangatlah tidak mengena di hati penonton dan soal unsur komedinya sendiri tampaknya rasa humor dari film-filmnya semakin menurun semenjak Legally Blonde.

Kutcher tentunya masih terlihat begitu charming di mata para wanita namun di luar itu ia gagal total dalam menampilkan perannya di sini. Maunya bersikap serius tapi kok malah kaku dan ketika sedikit mengeluarkan humornya ia terlihat sedikit over dan makin kentara bahwa peran ini bukanlah untuknya. Sementara Heighl tampil apa adanya karena memang peran yang ia lakoni disini tidaklah penting dan 'tak menuntut akting yang lebih. Kebodohannya boleh lah tapi ketika menemani Kutcher dalam beraksi bukannya membantu tambah seru dan lucu malah terkesan mengganggu. Dan sudah jelas dengan melihat itu semua chemistry diantara keduanya, nihil.

Menonton Killers mengingatkan saya pada Knight and Day (KaD) yang memang belum berselang lama dalam perilisannya. Sama-sama hadir dalam balutan action comedy namun hasilnya begitu jauh berbeda. Jika KaD berhasil dalam mengemban misinya sebagai tontonan aksi ringan yang menghibur, sedang Killers jika diibaratkan berjalan hasilnya justru sempoyongan dalam keseluruhan penyajiannya. Setiap scene action yang ada terasa sangat tidak asyik untuk dinikmati. Terlalu standar dan sangat biasa. Tengok setiap aksi yang dilakukan Kutcher, maunya terlihat keren dan hebat malah kesannya jatuh seperti seorang amatiran. Begitu pula dengan sisi komedinya yang tidak mampu membuat penonton (bagi saya sih) tertawa puas. Walaupun ada, hanya senyum sungging yang muncul. Luketic sudah pasti gagal dalam mempersembahkan karya terbarunya ini, beberapa bagian yang 'tak menarik tadi belum seberapa dengan eksekusi yang dibuat. Ending dari film ini benar-benar 'tak masuk akal dan payah walhasil untuk sejauh ini, film inilah yang menurut saya memiliki ending yang paling buruk.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole


Cast (voice): Jim Sturgess, Helen Mirren, Ryan Kwanten, Hugo Weaving, Geofrey Rush, Anthony LaPlaglia, Sam Neil, Emily Barclay
Director: Zack Snyder
Genre: Animation, Adventure, Fantasy, Family
Overall: 7/10

Tahun ini boleh dibilang sebagai tahunnya film animasi. Dari list yang saya buat dimana 10 dari film berkesan yang saya tonton sudah ada 3 buah judul film animasi yang mengena. Tercatat Toy Story 3 yang paling unggul dalam hal cerita begitupun dengan animasinya. Diikuti oleh How To Train Your Dragon dan Despicable Me yang super ringan namun sarat akan hiburan yang tinggi. Kini hadir kembali satu animasi yang pastinya akan saya masukan dalam daftar karena memang apa yang saya tonton boleh dibilang memuaskan. Animasi yang baru saya tonton itu bertajuk Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole (LotG:TOoG)

Filmnya lebih menitik beratkan pada petualangan seekor burung hantu muda bernama Soren (Jim Sturgess) dalam menemukan para Guardian guna mencegah rencana jahat Metalbeak (Joel Edgerton) seekor burung hantu yang berniat menguasai sekaligus membalaskan dendam atas kekalahannya saat pertempuran dulu. Petualangannya diawali ketika dirinya beserta kakaknya Kludd (Ryan Kwanten) diculik oleh dua ekor burung hantu yang merupakan bawahan Metalbeak. Soren dan kakaknya di masukan ke dalam tempat dimana para burung hantu muda lain disekap dan akan dijadikan budak. Di sini ia bertemu Gylfie (Emily Barclay) yang berniat melarikan diri sementara kakaknya justru lebih memihak pada Metalbeak terlebih ketika ia dipuji oleh Nyra (Helen Mirren).

Menilik dari filmaker yang berada dibelakangnya yaitu Zack Snyder sebenarnya ada dua hal yang saya rasa. Pertama, dengan melihat hasil dari karya-karyanya semisal Dawn of the Dead, 300 dan terakhir Watchmen yang rata-rata mendapat sambutan baik dari para kritikus tentunya antusias kita terbilang tinggi akan proyek terbarunya ini. Namun, di satu sisi ada sedikit keraguan mengingat film ini tentunya diperuntukan bagi semua kalangan. Padahal jika kita lihat dari kemasan film-film miliknya, sarat akan muatan yang diperuntukan bagi audiens dewasa. Hal ini mengingatkan saya pada dua nama sineas yang memang pernah mencoba peruntungannya ketika beralih ke lahan baru yang bukan spesialis mereka yaitu Mike Newell dan M. Night Shyamalan. Bisa saja Snyder sukses seperti halnya Newell ketika mencoba genre adventure, fantasy, family lewat Harry Potter And the Goblet of Fire. Tapi bisa juga ia bernasib apes layaknya Shyamalan ketika menggarap The Last Air Bender kemarin. Nah, lalu bagaimana hasilnya ketika saya selesai menonton film anyarnya ini?

Bagi saya bisa dibilang puas meski cerita yang ada terbilang biasa. Namun saya kurang begitu yakin bagi anak-anak apakah mereka menikmati tontonannya kali ini? Ceritanya memang biasa dan jika ditilik lagi sedikitnya mengingatkan saya pada inti kisah dari trilogy The Lord of the Rings. Sebagai film animasi yang memang diperuntukan bagi semua umur LotG:TOoG serasa kekurangan satu amunisi yaitu fun factor, dalam hal ini mengenai humor-humor yang tentu saja khusus ditujukan bagi anak-anak. Kekurangan itulah yang menyebabkan LotG:TOoG cenderung kearah yang lebih berat dan serius. Dan dari segi inilah jika boleh saya katakan Snyder kurang begitu berhasil dalam mempersembahkan tontonan bagi keluarga.

Meski begitu apa yang disuguhkan Snyder jauh dari kata mengecewakan. Para burung hantu tampil dengan begitu lincah ketika melakukan berbagai aksinya. Dalam hal ini adalah ketika mereka melakukan sebuah pertempuran yang boleh saya bilang tidak kalah seru dengan battle-nya para Sparta dan akhirnya terasa berkesan ketika Snyder menyisipkan beberapa slow-motion kedalamnya. Memang ketika mengetahui bahwa para burung hantu ini akan menggunakan tameng juga cakar besi rasanya agak aneh. Namun, ketika melihat secara keseluruhan apa yang mereka pakai hasilnya terlihat keren dan pas. dan rasanya mulai saat ini anak-anak 'tak akan menganggap binatang yang satu ini termasuk kedalam golongan hewan yang menakutkan.

Dalam hal pengisi suara, saya lebih takjub akan Helen Miren yang mengisi suara tokoh antagonis Nyra. Sementara yang lain tidak kurang dan tidak lebih dalam sumbangsih suaranya. Lalu dari musik yang ada terasa sejalan dalam mengiringi setiap adegan, mungkin hanya di bagian lagu Jason Mraz yang agak sedikit mengganggu.

LotG:TOoG bolehlah saya bilang biasa dalam cerita tapi lain hal dengan animasinya yang jempolan. Animasi yang dihasilkan oleh Animal Logic yang sebelumnya sukses dalam membuat animasi Happy Feet dan pernah juga bekerja sama dengan Snyder lewat 300, hasilnya terbilang sempurna. Saya begitu kagum walau hanya menikmati melalui format 2D dan saya yakin jika ditonton dalam format 3D hasil animasinya pasti akan lebih mengagumkan.

LotG:TOoG akhirnya memang menjadi tontonan yang berkesan khususnya bagi para penonton dewasa yang sudah jenuh akan tontonan animasi yang begitu kental akan aura anak-anaknya. Tapi disatu sisi film ini juga kurang begitu menjangkau target sebelumnya. Namun melihat hasil yang ada begitupun dengan ending juga nyatanya bahwa film ini adalah saduran dari novel yang memiliki 15 episode pastinya untuk lanjut pada jilid berikutnya bisa saja terbuka lebar. Sekarang tinggal tunggu saja hasil laba dari film ini. Mengapa harus laba? Tentu saja karena faktor utama dibuatkannya sekuel adalah perolehan laba yang fantastis. Namun sayangnya jika kita lihat hasil dari box-office ketika tulisan ini saya buat, di minggu pertamanya raupan aksi para burung hantu ini cukup mengecewakan hanya sekitar $ 16,1 juta, termasuk jumlah yang sangat kecil untuk ukuran film animasi keluarga. Hmm...