Kamis, 28 April 2011

Crazy Little Thing Called Love (2011/Indonesia)


Cast: Pimchanok Leuwisetpaiboon, Mario Maurer, Sudarat Butrprom, Acharanat Ariyaritwikol
Directors: Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn, Wasin Pokpong
Genre: Comedy, Romance
Overall: 7/10

Dari ke-6 film yang sedang diputar di Blitzmegaplex Bandung, 3 diantaranya diisi oleh film yang berasal dari negara tetangga kita, Thailand. Memang dalam sebulan terakhir ini, film dari negara yang memiliki julukan negeri gajah putih itu terasa begitu mendominasi dan banyak diminati oleh para penikmat film belakangan ini. Hal ini mungkin didasari juga oleh belum adanya keputusan antara pemerintah dengan MPA mengenai masuknya film-film barat ke bioskop kita. Meski ada beberapa film yang hadir, namun rasanya film-film tersebut kurang begitu menarik untuk dijajal. Hal ini pulalah yang akhirnya membuat penonton kita lebih memilih film-film Thailand ini sebagai tontonan alternatif mereka.

Tidak bisa kita pungkiri juga, bahwa perfilman Thailand sekarang ini sedang mengalami masa jayanya. Tahun 2010 lalu, 2 film Thailand bergenre komedi romantis, Bangkok Traffic Love Story dan Hello Stranger menjadi salah satu film favorit karena kisahnya yang berkesan bagi saya pribadi. Kini kembali romkom Thai yang saya saksikan bulan lalu, menjadi satu-satunya film yang paling menghibur dan membekas sampai saat ini di tahun 2011. Jika Bangkok Traffic Love Story bertutur mengenai dilema cinta pasangan yang sudah berumur, sedang Hello Stranger mengisahkan cinta pasangan muda-mudi, kini giliran Crazy Little Thing Called Love yang mengangkat cerita romantika para remaja belia. Nam (Pimchanok Leuwisetpaiboon) adalah seorang siswi sekolah tingkat pertama dengan penampilan dan kepribadian yang terbilang sangatlah biasa, dimana untuk pertama kalinya ia merasakan ketertarikan kepada lawan jenisnya. Tidak tanggung-tanggung siswa yang disukainya adalah siswa paling populer disekolahnya, Shone (Mario Maurer). Dibantu para sahabatnya plus panduan buku petunjuk mengenai cinta, Nam berusaha mendapatkan perhatian sang pujaan.

Dari itik buruk rupa menjadi seekor angsa yang cantik itulah gambaran yang pas bagi karakter Nam. Dan sang pelakon, Pimchanok Leuwisetpaiboon (susah banget 'kan namanya) berhasil membawakan karakternya dengan sangat mulus dan mampu bersenyawa dengan baik bersama ketiga sahabatnya. Sementara karakter sang pangeran, dalam kisah klise seperti ini, seperti biasa perannya tidak harus menuntut kemampuan akting yang mendalam. Cukup dengan dengan tingkat ke-charming-an yang tinggi dan mampu membuat para gadis tergila-gila. Dan hal ini, Mario Maurer punya poin penting itu. Penampilan Sudarat Butrprom sebagai Guru Inn pun cukup membekas (beungeut-nya itu lho :D)

Secara keseluruhan film ini memang berada di bawah dua pendahulunya. Namun jika berbicara soal cerita, Crazy Little Thing Called Love sebenarnya akan sangat dengan mudah mengena pada setiap audiencenya. Hal ini dikarenakan, kisah yang diangkat boleh dibilang sangat mungkin bisa mengingatkan penonton pada moment-moment zaman dulu ketika mulai timbul rasa tertarik kepada seseorang atau lebih tepatnya merasa jatuh cinta untuk pertama kalinya. Hal ini terbukti cukup berhasil lewat naskah buatan kedua sutradara, Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong, yang mampu mengembangkan premis sederhana menjadi begitu mengena. Dan hal ini dibantu pula oleh humor-humornya. Meski tidak sekonyol Bangkok Traffic Love Story atau Hello Stranger, unsur komedi Crazy Little Thing Called Love masih tetap efektif menghasilkan tawa pada penontonnya.

Bagi saya pribadi, film ini asyik dan berhasil mengajak saya bernostalgia waktu umur masih belasan dan mulai memasuki masa beuger. Meski memang eksekusinya terasa sangat biasa, namun setidaknya suguhan beberapa fakta akan perasaan Shone terhadap Nam sangatlah menarik dan sedikitnya mengingatkan pada ending dari Bangkok Traffic Love Story. Bukan suatu karya yang terbilang istimewa memang, namun setidaknya film ini mampu memberikan kesegaran ditengah-tengah gersangnya perfilman Hollywood yang mandeg datang ke bioskop kita.

Minggu, 24 April 2011

127 Hours (2010)


Cast: James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn, Clemence Poesy
Director: Danny Boyle
Genre: Adventure, Biography, Drama
Overall: 8/10

Bagi para pecinta alam khususnya yang gemar melakukan pendakian gunung, pastinya sudah tahu persis bagaimana kisah mengenai perjuangan seorang petualangan asal Amerika Serikat bernama Aron Ralston (James Franco). Di tahun 2003, ketika dirinya melakukan sebuah penjelajahan ke satu lembah di Canyonlands National Park, ia terjebak pada sebuah celah yang sempit dikarenakan lengan kanannya terjepit oleh sebuah bongkahan batu berukuran cukup besar. Hal itu terjadi ketika ia hendak menuruni celah tersebut dan tiba-tiba saja bongkahan batu itu ikut bergerak dan sialnya tepat berhenti dan jatuh menimpa lengannya. Selama kurang lebih 5 hari dirinya terjebak, ia pun mencoba berbagai usaha guna membebaskan tangannya, juga bertahan hidup dengan perlengkapan dan bekal seadanya. Hingga akhirnya satu keputusan paling berani dan nekat pun harus ia ambil, yang mana hal tersebut akan ia kenang sepanjang hidupnya kelak, begitupun oleh orang-orang yang kagum akan kisah perjuangannya.

Kisah survival dari Aron Ralston inilah yang kemudian oleh Danny Boyle coba diangkat dan dihadirkan kehadapan para penikmat film lewat karya terbarunya bertajuk 127 Hours. Dalam ajang tahunan Academy Awards yang digelar 27 Februari 2011 lalu, film ini sukses dalam memeriahkan bursa Oscar dengan perolehan nominasi sebanyak 6 buah. Meski pada akhirnya, 127 Hours harus terpaksa menjadi pecundang pada malam perhelatan akbar itu dikarenakan dari raihan nominasi yang ada, tidak satu pun piala yang dihasilkan. Namun terlepas dari itu semua, tetap saja 127 Hours merupakan salah satu film dan karya terbaik di tahun 2010 dari seorang Boyle.

Untuk proyek terbarunya ini, Boyle kembali memboyong tiga orang yang berada dibalik kesuksesan karya terakhirnya Slumdog Millionare tahun 2008 lalu. Pertama, penulis naskah Simon Beaufoy diikut sertakan guna membantunya dalam penyusunan skrip. Kedua untuk urusan musik, Boyle mempercayakan kembali pada komposer asal India, A.R Rahman. Terakhir, untuk sinematografi ia serahkan pada Anthony Dod Mantle. Kita tahu sendiri Slumdog Millionare sukses menyabet delapan gelar terbaik diajang Oscar. Selain Best Picture dan Best Director bagi Boyle, gelar terbaik pun didapat lewat ketiga nama yang disebutkan tadi lewat kategori Best Adapted Screenplay, Best Cinematography serta Best Original Song dan Best Original Score. Jadi tidak heran jika akhirnya Boyle kembali mengajak kerjasama ketiganya dan menciptakan satu tim solid dalam mempersembahkan satu tontonan berkualitas di 2010.

Premis terjebaknya seseorang di satu tempat sempit dan terisolir, mengingatkan kita pada satu film yang juga dirilis di tahun yang sama milik sineas asal Spanyol, Rodrigo Cortes, Buried. Dengan pola yang seperti itu 127 Hours sebenarnya memiliki potensi membosankan. Namun berkat naskah cerdas buatan Boyle dan Beaufoy, 127 Hours berhasil keluar dari kemungkinan akan monotonnya cerita. Jika Buried dirasa terlalu menyesakan oleh sebagian penonton karena sangat minimnya setting dan karakter, justru 127 Hours mampu menjaga intensitas penonton berkat kecerdikan Boyle dan Beaufoy yang mampu mengembangkan premis setting yang sempit, menjadi sebuah kisah emosional dan menegangkan, dengan dimasukannya beberapa karakter serta tampilan visual yang mampu memanjakan mata, tanpa harus meninggalakan kesan terisolir dan depresi yang dialami sang tokoh utama.

A.R Rahman pun sukses dalam memberikan sumbangsih musiknya yang unik dalam menghidupkan suasana atau keadaan seseorang yang terjepit. Sinematografi-nya pun terbilang jempolan dengan menampilkan beberapa angle-angle yang menarik. Tidak ketinggalan, James Franco pun ikut andil dalam mensukseskan film ini berkat penampilan ciamiknya. Setiap ekspresi yang ia tampilkan berhasil membawa penonton ikut hanyut dan merasakan tiap emosinya Aron Ralston. Miris rasanya melihat kondisi Ralston dari hari ke hari terlebih ketika dirinya mulai sulit membedakan antara yang nyata dan halusinasi belaka. Dan hal ini membuktikan bahwa Franco sukses melakukan tugas peran utama perdananya dan berhasil membuktikan bahwa kelak ia pun layak diberi porsi utama dalam sebuah film dan rasanya cukup bagi Franco untuk terus berkutat di ruang aktor pendukung saja.

127 Hours adalah sebuah film yang berangkat dari kisah nyata yang luar biasa. Sebuah kisah survival yang memberikan inspirasi dan motivasi. Tentu saja bagi para petualang film ini banyak sekali mengandung pesan atau semacam pembelajaran tentang apa yang mesti dipersiapkan jika ingin melakukan penjelajahan. Film ini pun mengajarkan kepada kita agar jangan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan dengan orang terdekat kita serta perbanyaklah bersyukur.