Sabtu, 26 Februari 2011

Let Me In (2010)


Cast: Kodi Smit-McPhee, Chloe Moretz, Elias Koteas, Richard Jenkins
Director: Matt Reeves
Genre: Horror, Drama
Overall: 7/10

Owen (Kodi Smit-McPhee) adalah anak laki-laki yang acap kali sering menjadi bulan-bulanan keisengan anak jahat disekolahnya, ketika pulang ke rumahnya pun ia tidak bisa menemukan kenyamanan bagi dirinya. Hanya halaman depan rumahnya lah yang sering kali ia gunakan untuk menghabiskan waktu ketika waktu malam datang. Hingga suatu hari, ia kedatangan tetangga baru, seorang lelaki tua beserta gadis kecil sebayanya bernama Abby (Chloe Moretz). Merasa cocok, akhirnya keduanya pun sering kali menghabiskan waktu bersama hingga menimbulkan ketertarikan satu sama lain. Dari kebersamaan itu terungkaplah tentang siapa jati diri Abby sebenarnya.

Bagi yang hanya sekedar tahu bahwa Let Me In adalah satu film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan inti kisahnya mengenai hubungan seorang manusia dengan vampir, mungkin akan beranggapan bahwa film ini hanyalah sekedar ingin mengekor kesuksesan yang telah dicapai oleh satu film, yang juga menuturkan kisah percintaan dua individu beda dunia, Twilight Saga. Dan memang film yang menghadirkan sesosok vampir charming juga manusia serigala berperut super keren itu kini telah menjadi sebuah fenomena luar biasa di kalangan remaja. Namun, Let Me In jelas hadir dengan paket yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang disuguhkan lewat franchise unggulan milik Summit Entertainment tersebut. Let Me In mampu hadir sebagai tontonan horror yang menempati level baik dari segala film horror yang akhir-akhir ini dibuat, lewat segala aspek pendukungnya.

Salah satu keunggulan film ini terletak pada penjabaran kisah ikatan kedua tokoh utama Abby dan Owen. Interaksi antar keduanya menghasilkan senyawa yang baik. Dan hal ini tidak terlepas dari hasil kedua pemeran utamanya, Kodi Smit-McPhee dan Chloe Moretz, yang dengan mulus mampu menampilkan setiap emosi dari masing-masing karakter yang dilakoni. Keduanya saling mengisi satu sama lain, karena dari background kehidupan keduanya pun sama-sama jauh dari yang namanya interaksi sosial dengan orang-orang sekitar. Di samping itu, film ini pun tidak lantas menanggalkan satu aspek penting yang dibutuhkan oleh sebuah film horror, dimana Let Me In masih menyajikan beberapa scene sadis dengan tidak lupa menyertakan puncratan darah, namun masih dalam tingkatan yang normal.

Låt den rätte komma in, itulah judul novel yang diadaptasi oleh film ini. Dimana sebelum Let Me In, novel karya John Ajvide Lindqvist ini sendiri, pernah juga diangkat ke layar lebar oleh sineas asal Swedia, Tomas Alfredson, dengan judul yang sama atau secara internasionalnya Let the Right One In di tahun 2008. Hasil adapatasinya ini merupakan sebuah karya yang bermutu dengan bukti mampu ikut serta di berbagai ajang festival bergengsi dunia. Dan hal ini tentunya menjadi kendala tersendiri bagi Matt Reeves selaku sutradara Let Me In. Meski berdalih apa yang dikerjakannya bukanlah suatu remake, melainkan sebuah adaptasi pada satu media buku, tetap saja para penikmat film akan masih menganggap Let Me In adalah sebuah pembaharuan Let the Right One In dan mau 'tak mau pastinya akan dibandingkan dengan film pendahulunya yang sama-sama bermula pada satu sumber. Apalagi jika kita mengingat hasil dari daur ulang beberapa film yang telah dicap bagus untuk dipoles ala Hollywood seenak hatinya, menjadikan rencana akan dibuatnya versi baru Låt den rätte komma in ini, mendapat banyak cibiran dimana-mana. Dan pada kenyataannya pun kesederhanaan dengan paket berkualitas yang terbangun lewat Let the Right One In, tidak mampu disamai oleh Let Me In. Meski film ini sendiri masih menggunakan jasa penulis naskah yang sama dari film pendahulunya, John Ajvide Lindqvist. Mungkin nilai lebih yang dimiliki Let Me In adalah kemasannya yang sedikit komersil atau tampil dengan khasnya film-film Hollywood hingga setidaknya mampu diterima oleh penonton awam. Namun, hal ini sayangnya menjadikan Let Me In tampil hanya sekedar film horror biasa yang 'tak istimewa.

Let Me In sebenarnya berpotensi menjadi sebuah tontonan yang membosankan jika mengingat alur yang cenderung lambat dalam menyampaikan jalinan cerita. Belum lagi ditambah oleh visualisasi atmosphere musim dingin yang tampak begitu sunyi. Dan hal ini akan begitu terasa oleh penonton yang sebelumnya pernah menikmati Let the Right One In. Karena apa yang dihadirkan oleh Let Me In pun, hampir 90% sama dengan apa yang disajikan film pendahulunya, sehingga tiap scene demi scene tidak memberikan kejutan yang berarti. Terlepas dari itu semua, dengan tanpa membandingkan film adaptasi sebelumnya, sebenarnya Let Me In adalah satu tontonan horror berbeda jika mengingat bagaimana hasil film-film horror Hollywood belakangan ini. Sebuah adaptasi yang mulus. Dan jika akhirnya banyak orang beranggapan bahwa ini adalah salah satu film remake, Let Me In jelas jauh dari kesan Hollywood yang sering kali mengobrak-abrik keorisinilan film pendahulunya. Good job Reeves!!!

Minggu, 20 Februari 2011

The Social Network (2010)


Cast: Jesse Eisenberg, Andrew Garfield, Justin Timberlake, Armie Hammer, Rooney Mara
Director: David Fincher
Genre: Biography, Drama, History
Overall: 8/10

Akhirnya datang juga. Setelah lebih dari 2 bulan menunggu tanpa adanya jadwal yang pasti mengenai kapan tayangnya The Social Network di beberapa kota luar Jabotabek, salah satunya Bandung, akhirnya film mengenai situs jejaring sosial Facebook ini muncul juga. Seperti kita tahu sendiri, film ini sebenarnya sudah bisa disaksikan sejak bulan November tahun lalu, namun entah mengapa hanya penonton wilayah Jabotabek sajalah yang bisa menikmati film ini. Sementara penonton di luar daerah Jabotabek terpaksa harus gigit jari, sambil menunggu ketidak pastian akan tayangnya film arahan David Fincher ini. Jadi jangan salahkan, jika pada kenyataannya tidak sedikit penonton yang akhirnya memilih jalur bootleg sebagai sarana menikmati tontonan ini.

Banyaknya penonton yang menjajal The Social Network lewat media bootleg, bukan hanya karena faktor jadwal tayangnya saja yang sangat lambat, respon positif dari beberapa kritikus pun pastinya mempengaruhi kepenasaran audience. Terlebih ketika film ini dinobatkan sebagai film drama terbaik di ajang Golden Globe kemarin. Hal tersebut tentu saja semakin membuat kepenasaran penonton memuncak.

Terlepas dari rentetan pujian kritikus atau didapuknya film ini sebagai yang terbaik versi Golden Globe, sebenarnya film ini sendiri dari jauh-jauh hari sudah bisa disebut sebagai film yang wajib diantisipasi, mengingat nama David Fincher lah yang mengisi jabatan sebagai sutradara. Masih ingat rasanya persembahan amazing-nya lewat The Curious Case of Benjamin Button tahun 2008 lalu. Meski gagal meraih gelar film terbaik di ajang Academy Awards, namun rasanya film tersebut patut dijadikan sebagai bahan pertimbangan akan proyek Fincher berikutnya. Dan boleh dibilang mungkin hanya Fincher lah satu-satunya nama dalam film ini yang bisa dijadikan sebagai penyedot para audience. Karena jika kita tilik dari jajaran cast yang ada, tercatat nama-nama yang kurang begitu menjanjikan. Bagian peran utama diisi oleh Jesse Eisenberg, yang sebelumnya kita kenal lewat beberapa film remaja dan yang paling membekas penampilannya di Zombieland (2009). Berikutnya si manusia laba-laba baru Andrew Garfield lalu ada Justin Timberlake yang masih berkesan sebagai penyanyi yang coba berakting ditambah beberapa nama aktor/aktris kurang terkenal lainnya.

Selain itu dari kisah yang diangkat pun rasa-rasanya tidak akan terlalu menciptakan antusias begitu tinggi. Kisahnya hanyalah seputaran asal-usul bagaimana Facebook dibuat dan beberapa kisah setelah situs jejaring itu terbentuk termasuk kasus yang menimpa sang pencipta, Mark Zuckerberg. Dan pada kenyataannya pun banyak yang beranggapan bahwa kisah mengenai Facebook ini terlalu dini untuk diangkat ke layar lebar.

Diawali dengan opening adu argumen super cepat antara Jesse Eisenberg dan Rooney Mara, sedikitnya memberi isyarat bahwa film ini akan menjadi sebuah tontonan yang lebih banyak menonjolkan rentetan dialog sebagai kekuatan utama jalannya cerita. Dan hal itu terbukti, sepanjang durasi yang ada penonton harus menyiapkan konsentrasi sebaik mungkin untuk tidak melewatkan setiap dialog cerdas yang terucap. Dan hal ini tentu saja tidak terlepas dari jasa Aaron Sorkin sebagai penulis naskah, dimana kisahnya sendiri disadur dari buku bertajuk "The Accindental Billionares: The Founding, A Tale of Sex, Money, Genius and Betrayal" karya Ben Mezrich. Selain itu sisi editingnya pun terbilang istimewa. Dengan gaya penuturannya yang nonlinear, pastinya dibutuhkan hasil editing yang diusahakan mampu membuat penonton untuk tidak merasa kebingungan akan alur maju mundur yang disajikan. Dan hal ini berhasil dikerjakan secara sempurna oleh duo Kirk Baxter dan Angus Wall. Dan kedua elemen ini memang yang paling menonjol disamping music scorenya sendiri yang berhasil ikut meramaikan bursa Oscar.

Memerankan seorang tokoh yang pernah ada/nyata, biasanya selalu menarik perhatian para kritikus begitupun juri-juri di beberapa ajang festival. Hal ini pula lah yang didapat Eisenberg, perannya sebagai Zuckerberg berbuah beberapa penghargaan minimal nominasi. Harus diakui dipilihnya Eisenberg merupakan satu keputusan yang sangat tepat, jika mengingat dari segi fisik keduanya yang hampir menyerupai satu sama lain. Selanjutnya tinggal bagaimana Eisenberg berimprovisasi dalam melakukan tugasnya. Walhasil, aktor berusia 28 tahun ini dengan mulus berhasil menyampaikan sosok karakter individualistis yang jenius sekaligus menyebalkan. Jajaran cast pendukung yang lain pun turut tampil dengan performa terbaiknya. Kredit khusus kita alamatkan bagi Andrew Garfield, penampilannya kali ini oleh dibilang merupakan satu langkah yang bagus darinya, jika kita mengingat akan proyek The Amazing Spider-Man tahun 2012 mendatang. Setidaknya permainan apiknya kali ini mampu memantapkan namanya atas jatuhnya peran Peter parker padanya guna membuktikan pada khalayak kelak. Sementara itu, Justin Timberlake bermain cukup nyaman dan baik meski di beberapa bagian terkesan over. Pujian juga patut kita sematkan pada Armie Hammer yang berperan ganda sebagai si kembar Winklevoss. Ada yang menyangka bahwa mereka adalah satu orang?

Usai menyimak The Social Network, dipastikan tidak sedikit dari penonton yang pada akhirnya penasaran dan menimbulkan satu pertanyaan, apa pendapat Zuckerberg mengenai film ini? Karena jika tilik secara keseluruhan, apa yang dijabarkan sepanjang film tidaklah berfokus pada kejeniusan seorang Zuckerberg dalam menciptakan situs jejaring sosial yang penggunanya sudah mencapai 500 juta itu. Justru kesan yang ada lebih ke arah menyudutkan dirinya, dengan diperlihatkannya beberapa sikap buruk sang jutawan muda, mulai dari melayangkan kata-kata kasar terhadap pacarnya hingga mendepak sahabatnya sendiri (Eduardo Saverin). Ternyata usut punya usut, satu fakta menarik didapat mengenai buku karya Mezrich yang dijadikan adaptasi naskah film ini, ternyata dalam penulisannya, ia dibantu oleh Eduardo Saverin. Itulah mengapa film ini akhirnya tampak seperti sebuah eksploitasi tabiat buruk seorang Zuckerberg.

Terlepas dari itu, The Social Network adalah salah satu tontonan terbaik di tahun 2010 berkat naskah jempolan Aaron Sarkin ditambah kemampuan David Fincher yang mampu meramunya menjadi sebuah dramatisasi berkualitas. Kini kita tinggal menunggu puncak pembuktian kejayaan film ini 27 Februari mendatang lewat ajang Academy Awards. Dan rasanya kali ini juri-juri Oscar akan melakukan kebiasaannya kembali semacam penebusan kesalahan, karena di tahun 2008 silam harusnya Fincher layak untuk dipilih sebagai yang terbaik.

Minggu, 13 Februari 2011

Black Swan (2010)


Cast: Natalie Portman, Mila Kunis, Vincent Cassel, Barbara Hershey, Winona Ryder
Diretor: Darren Aronofsky
Writers: Mark Heyman, Andres Heinz, John J. McLaughlin
Genre: Drama, Mystery, Thriller
Overall: 8/10

Masuknya Black Swan dalam jajaran terbaik di berbagai ajang festival seperti Screen Actors Guild Awards, Independent Spirit Awards, Venice Film Festival, BAFTA Awards dan terakhir Golden Globes serta ajang penghargaan tertinggi insan perfilman Academy Awards, tentunya menjadi bekal bagi film arahan Darren Aronofsky ini untuk hadir sebagai film drama yang istimewa, terlepas dari premisnya yang sekilas tampak biasa.

Menjadi seorang pebalet professional adalah impian terbesar bagi Nina Sayers (Natalie Portman). Hingga satu ketika datang kesempatan yang dirasa olehnya adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impiannya tersebut. Kesempatan itu datang ketika harus mengisi satu posisi penting sebagai peran utama dalam suatu pementasan bergengsi bertajuk Swan Lake. Berhasil menyisihkan para pebalet lain dalam memperebutkan peran Swan Queen, tokoh utama dari pementasan itu, tentunya hanyalah sebuah langkah awal. Terlebih karena peran yang akan ia mainkan nanti tidaklah mudah untuk dilakoni. Swan Queen tampil dengan dua sisi emosi yang berbeda, pertama karakter White Queen yang penuh dengan kepolosan dan di sisi lain ada Black Swan yang dirasa oleh Nina, karakter dari Black Swan sungguh berbanding terbalik dengan kepribadiannya. Dan di sinilah letak kesulitannya. Ia tidak mampu menampilkan sisi gelap, menggoda sekaligus sensualnya Black Swan, terlebih ketika Thomas Leroy (Vincent Casel) sang sutradara pementasan, menyebutkan setiap gerakan yang ia tampilkan tidaklah memiliki jiwa. Dan hal ini semakin diperparah oleh kehadiran pebalet lain yaitu Lily (Mila Kunis), yang menurut Thomas lebih cocok dan menguasai karakter Black Swan dan hal ini semakin membebani psikis Nina.

Seperti yang disebutkan di awal, sekilas Black Swan memang tampak seperti sebuah film yang hanya menceritakan persaingan dua pebalet dalam memperebutkan peran penting guna kemajuan kariernya. Namun apa yang ditampilkan Darren Aronofsky, tidaklah hanya berfokus pada premis sederhana itu saja. Kesederhanaan itu kemudian ia kembangkan dengan cara yang mungkin tidak akan bisa dinikmati semua penonton film.

Lembut, anggun, cantik mungkin itu yang biasa kita dapat lewat pementasan balet. Lain halnya dengan Black Swan, di tangan sineas kelahiran 12 Februari 1969 ini, balet berubah menjadi sesuatu yang gelap, berat dan terlihat mengerikan. Coba tengok beberapa elemen yang ada!!! Ambil contoh setting atau kostum hingga setiap karakter. Dipastikan bagi penonton yang hanya mengetahui pengetahuan tentang balet hanya sedikit saja pastinya akan terkaget-kaget atas paparan kisah yang disajikan Aronofsky di sini. Seperti inikah dunia balet? Kemudian dengan adanya beberapa scene mengejutkan ditambah disisipi aroma erotis, kita sebagai penonton terkadang akan lebih merasakan seperti sedang menikmati satu tontonan thriller/horror erotis.

Secara perlahan pula, lebih dari setengah durasi, Aronofsky mengajak penonton untuk mengikuti perubahan karakter sang tokoh utama, Nina Sayers. Polos serta dipenuhi keraguan secara pelan dan pasti, berkembang menjadi karakter yang gelap dan penuh tipu daya, layaknya pergantian dua karakter dalam pementasan yang akan ia mainkan. Dalam proses transformasi itupun, dipastikan sebagian dari penonton akan dibuat kebingungan akan jalannya cerita. Hal ini dikarenakan tidak sedikitnya berbagai hal absurd yang menyertai pencarian jati diri Nina, hingga akhirnya menimbulkan satu pertanyaan di benak penonton, atas apa yang terjadi pada diri seorang Nina Sayers. Apakah ini hanya halusinasi semata ataukah memang kenyataan.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, dimana lebih dari setengah durasi yang ada, cerita lebih berfokus pada karakter Nina Sayers. Tentu saja ini menjadi tugas utama Aronofsky selaku sutradara dalam mengarahkan Natalie Portman agar mengeluarkan totalitas kemampuannya. Dan hal ini berhasil. Boleh dibilang inilah penampilan terbaik dari aktris berusia 29 tahun ini. Portman lebih banyak bermain dengan emosinya ketimbang melapalkan rentetan dialog bersama karakter lain. Dan hal ini sukses ia tampilkan hingga menciptakan satu sosok individualistis yang depresi yaitu seorang Nina Sayers. Portman pun berhasil dalam membawa serta penonton untuk ikut hanyut oleh arus depresi, konflik batin yang dialami Nina. Satu lagi yang patut kita hargai, lewat usahanya dalam melakukan tariannya sendiri. Tidak sia-sia baginya berlatih selama 6 bulan dimana menyisihkan waktu sekitar 5 jam dalam sehari untuk ikut pelatihan balet juga fisik. Walhasil melalui perannya ini, berbagai penghargaan diraihnya termasuk award bergengsi yang sukses didapatnya ketika Golden Globe kemarin sebagai aktris terbaik dalam film drama.

Puncak karier Portman pun akan dibuktikan 27 Februari mendatang lewat ajang Academy Awards. Seperti kita tahu sendiri Portman sukses melenggang masuk sebagai calon terbaik dalam nominasi Best Performance by an Actress in a Leading Role di acara penghargaan ini yang memang disebut-sebut sebagai patokan sukses atau tidaknya bagi siapapun yang bergelut di dunia perfilman. Cukup sulit memang baginya, mengingat ada nama Annete Bening yang juga cukup banyak diperhitungkan untuk meraih gelar terbaik tersebut. Namun rasanya jika kita mengingat beberapa keberanian yang dilakukan Portman dalam Black Swan, seperti hot scenenya bersama Mila kunis, rasa-rasanya hal ini menjadi satu nilai lebih baginya. Jika kita tengok beberapa hasil aktris terbaik dalam ajang ini, sepertinya juri-juri Oscar menyukai akan hal-hal keberanian semacam ini bukan?

Sabtu, 05 Februari 2011

The Kids Are All Right (2010)


Cast: Annette Bening, Julianne Moore, Mark Ruffalo, Mia Wasikowska, Josh Hutcherson
Director: Lisa Cholodenko
Writers: Lisa Cholodenko, Stuart Blumberg
Genre: Drama, Comedy
Overall: 8/10

Nic (Annete Bening) dan Jules (Julianne Moore) adalah sepasang kekasih lesbian yang telah lama hidup bersama dan memiliki dua anak dari masing-masing individu. Joni (Mia Wasikowska) merupakan anak paling besar dari Nic. Sementara Jules memiliki Laser (Josh Hutcherson). Keduanya lahir melalui proses inseminasi (proses pendonoran sperma) dari orang yang sama. Ketika Joni mulai memasuki masa kuliah, Laser memintanya untuk mencari tahu tentang siapa pria yang menjadi ayah biologisnya, melalui sebuah lembaga pendonoran sperma. Tidak butuh waktu lama, akhirnya mereka pun bertemu dengan sosok pria yang boleh dibilang sebagai ayah kandungnya, seorang pengusaha restaurant bernama Paul (Mark Ruffalo). Pertemuan pertama, memberi kesan yang baik pada diri masing-masing, termasuk pada Nic dan Jules ketika pertemuan berikutnya dalam acara makan bersama. Hal tersebut menimbulkan keakraban satu sama lain, terlebih bagi Jules yang berujung pada tindakannya sehingga menimbulkan ketegangan dalam rumah tangga yang selama ini telah dibangun bersama.

Sensitif memang jika mengingat apa yang diangkat oleh Lisa Cholodenko selaku sutradara sekaligus penulis naskah dari film ini. Justru dengan tema seperti inilah yang menjadikan The Kids Are All Right hadir sebagai tontonan drama komedi keluarga yang berbeda dan istimewa jika dibandingkan dengan beberapa film drama keluarga yang telah dibuat sebelumnya. Dari struktur keluarga yang ditampilkan, tidak terdapat sosok bernama ayah di sini. Yang ada hanya ada dua orang wanita dewasa, dimana mereka hidup bersama atas dasar cinta juga memiliki dua orang anak dan anak-anak mereka pun menerima kondisi yang ada. Jika hanya berbekal premis sederhana yang saya sebutkan tadi, pastinya kita yang belum menonton akan menganggap bahwa ada yang salah dari jalinan keluarga ini dan bukan satu contoh yang patut ditiru atau diteladani. Namun pemikiran tersebut sedikit demi sedikit mulai terbantahkan ketika kita menyimak menit ke menit penyajian cerita dari film ini. Kita sebagai penonton tidak menangkap ada sesuatu yang salah dalam kisah kelurga ini dan kita pun mau tidak mau harus menilai bahwa pasangan kedua wanita yang menjadi tokoh sentral di sini adalah pasangan "normal" biasa pada umumnya, yang berperan sebagai orang tua dimana mereka berusaha menjaga keutuhan keluarga serta pernikahan yang selama ini mereka bina.

Dari sini jelas terlihat tugas dari Lisa Cholodenko sudah terlaksana dengan baik. Kisah yang dibuat bersama Stuart Blumberg, tidak sepenuhnya menampilkan bagaimana hubungan sepasang lesbian yang pastinya bakal menimbulkan kontroversi, justru Cholodenko lebih menitik beratkan pada nilai-nilai penting dalam sebuah jalinan keluarga hingga terjalin menjadi sebuah tontonan yang ringan dengan tidak meninggalkan paket bermutu. Dan hal inilah yang mampu membuat penonton dengan sangat mulus mudah menerima.

Kesempurnaan cerita ini tentunya dibantu pula oleh jajaran pemainnya. Kredit khusus pastinya patut kita layangkan pada duo cast utamanya, Annete Bening dan Julianne Moore. Dengan begitu alami mereka menampilkan performa terbaiknya dan menghadirkan chemistry yang pas. Emosi dari keduanya ketika menghadapi problematika yang mulai melanda, begitu meyakinkan mereka tampilkan, sehingga penonton pun serasa ikut merasakan apa yang mereka berdua alami. Mark Ruffalo pun hadir bukan hanya sekedar sebagai pendukung saja. Sama seperti Bening dan Moore, Ruffalo sama-sama menampilkan performanya yang berkelas. Begitu pula dengan para pemain belia seperti Mia Wasikowska dan Josh Hutcherson, keduanya turut membantu menciptakan jajaran cast yang ideal.

Bagi anda yang mengharapkan satu tontonan drama keluarga dengan formula baru tanpa alur yang memusingkan, justru terkesan ringan, menghibur melalui sisipan unsur komedi di dalamnya dan tidak lupa diliputi oleh konfilk seputaran keluarga, pastinya The Kids Are All Right adalah satu pilihan yang patut untuk anda jajal. Meski sebenarnya jika mengingat bahwa kita adalah seseorang yang tinggal di negara yang dipenuhi oleh adat serta norma yang kuat, struktur keluarga seperti ini tidaklah patut untuk diikuti. Terlepas dari itu, justru kegigihan dan rasa bertanggung jawab terhadap keluargalah yang wajin kita petik dari kisah keluarga ini.