Minggu, 26 Desember 2010

Letters to Juliet (2010)


Cast: Amanda Seyfried, Gael García Bernal, Vanessa Redgrave, Christopher Egan
Director: Gary Winick
Genre: Drama, Romance
Overall: 6/10

Sophie (Amanda Seyfried) melakukan perjalanan bersama kekasihnya Victor (Gael García Bernal) menuju kota Verona untuk sebuah urusan menjelang pernikahannya. Yang seharusnya hari-hari mereka habiskan bersama, justru keduanya asyik dengan kegiatan masing-masing. Victor sibuk dengan wisata kulinernya, sementara Sophie menikmati kegiatannya yang disebut sebagai sekretarisnya Juliet. Tugasnya adalah membalas setiap surat yang masuk ke sebuah rumah yang dikenal sebagai Juliet's House. Suatu hari ia menemukan sepucuk surat yang telah tersimpan bertahun-tahun lamanya. Dengan diliputi rasa penasaran ia pun mencoba menyelidiki dan berhasil bertemu sang empunya surat, Claire (Vanessa Redgrave). Dari pertemuan tersebut, akhirnya Sophie bersedia membantu Claire dalam mencari sang pujaan hati yang dimaksud dalam surat tersebut, ditemani cucunya Claire, Charlie (Christopher Egan). Dari perjalanan pencarian inilah, akhirnya Sophie akan mengerti dan menemukan cinta sejati.

Daya tarik dari film arahan Gary Winick ini, selain setting kota Eropa yang begitu indah dan menarik, pastinya datang dari sang cast utama, Amanda Seyfried. Bukan apa-apa, aktris yang namanya mulai mencuri perhatian lewat Mamma Mia!, penampilannya di sini begitu menyejukan mata bagi kaum adam yang menontonnya. Bukan karena kemolekan tubuhnya yang berani buka-bukaan, karena memang tidak ada hal seperti itu disini, melainkan aura manis dari dirinya yang begitu jelas terlihat ditambah dukungan suasana sekitarnya. Setiap hal sampai ke hal kecil, seperti mata atau rambut (pirang) indahnya bagi saya adalah sesuatu yang betah untuk dilihat. Sehingga aneh rasanya dan saya menganggap bodoh Victor, yang lebih memilih menghabiskan waktu bersama kuliner ketimbang bersama seorang gadis semanis Sophie. Dan jika ditilik pun, Gael García Bernal yang melakoni sebagai sang pacar rasanya kurang klik jika disandingkan bersama Amanda Seyfried.

Dari segi cerita sebenarnya tidak ada yang baru, namun naskah ringan buatan Jose Rivera dan Tim Sullivan cukup menarik untuk disimak meski kenyataanya akhir kisahnya sendiri bisa ditebak. Tontonan semacam ini pastinya akan disukai oleh kaum hawa, namun bagi audience pria sajian ala Letters to Juliet ini dipastikan tidak akan menarik apalagi jika menontonnya seorang diri ditambah suasana hati yang bisa dibilang kurang mendukung dalam hal dunia percintaan. Lain hal jika anda sebagai pria yang sedang merasakan yang namanya jatuh cinta dan menikmati film ini bersama orang yang anda sayang, pastinya anda akan menyukai tontonan yang satu ini. Percayalah, karena itu yang saya rasa. Yukkk...!!!

Sabtu, 25 Desember 2010

TRON: Legacy (2010)


Cast: Garrett Hedlund, Jeff Bridges, Olivia Wilde, Michael Sheen
Director: Joseph Kosinski
Genre: Adventure, Action, Sci-Fi
Overall: 5/10

Satu alasan paling tepat dalam menjabarkan kekecewaan terhadap satu film yang diantisipasi jauh-jauh hari sebelum rilis adalah karena terlalu tingginya ekspektasi yang ditaruh terhadap film yang dimaksud. Hal itulah yang terjadi kepada TRON: Legacy. Bagaimana tidak, dengan menyimak trailer yang ada, sebuah pengharapan akan sajian visual menakjubkan plus kisah memuaskan sehingga menjadi sebuah tontonan terbaik sebagai penutup akhir tahun, pastinya tertumpu pada TRON: Legacy. Namun sayangnya, apa yang didapat penonton terpaksa harus gigit jari begitu usai menyaksikan proyek ambisius milik Disney ini.

TRON: Legacy sendiri adalah sebuah sekuel dari film produksi Walt Disney Pictures tahun 1982 bertajuk Tron. Filmnya sendiri sebenarnya kurang beruntung dalam hal peredarannya begitu juga tanggapan dari para kritikus. Namun belakangan, Tron sendiri banyak meraih simpati dari para penggemarnya sehingga merubah status film ini menjadi cult classic. Melihat antusias tersebut, akhirnya Disney selaku pihak studio mengumumkan mengenai proyek kelanjutan Tron, yang sayangnya bukanlah remake melainkan sebuah sekuel. Mengingat rentang waktu yang begitu panjang 28 tahun, pastinya tidak banyak audience muda yang tahu mengenai kisah sci-fi tahun 80-an ini. Lalu apakah para penonton muda tersebut kebingungan ketika memasuki dunia TRON: Legacy?

Di sinilah awal kesalahan muncul dari naskah buatan Edward Kitsis dan Adam Horowitz yang tidak menjelaskan sama sekali mengenai apa-apa yang telah ada di film pertama. The Grid, User, Programs adalah beberapa istilah yang memaksa penonton untuk menerjemahkannya sendiri. Atau mungkin penonton juga dibuat kebingungan mengapa seorang manusia ujug-ujug bisa masuk dalam sebuah dunia digital. Bukan hanya itu saja, plot kisahnya pun terbilang terlalu biasa tanpa ada greget sama sekali sehingga amat mungkin membuat penonton mengantuk karena bosan dalam menyaksikan adegan yang kurang menarik. Karena di sini pun, action yang disajikan tidak terlalu seru malah cenderung standar.

Mengenai visualisasi atau spesial effect pastinya TRON: Legacy sudah jauh melebihi pendahulunya. Di awal kita pasti akan terkagum-kagum dengan dunianya Tron termasuk peralatan canggih di dalamnya seperti benda menyerupai tongkat kecil yang bisa berubah wujud menjadi motor super keren sekaligus pesawat. Siapa yang tidak takjub dengan hal itu? Namun sepertinya hal itu tidaklah berlangsung lama, rasa takjub yang muncul di awal-awal perlahan mulai menguap tanpa ada kesan dan menjadikan apa yang kita saksikan seolah-olah adalah barang biasa. Lalu bagaimana dengan 3Dnya sendiri? Bagi saya tidak ada istimewanya sama sekali. Efeknya tidak begitu terasa, hampir semuanya hanya diisi cahaya-cahaya lampu neon belaka. Jadi intinya saya sarankan bagi anda yang berniat menonton, cukup menikmati lewat tampilan 2D saja.

Dari barisan cast, tidak ada yang tampil berkesan namun tidak bisa dibilang buruk juga. Aktor muda Garrett Hedlund lumayan baik tampilannya, tapi sayangnya perannya di sini tampaknya tidak akan bisa membuat namanya menjadi aktor muda pendatang yang patut diperhitungkan, perannya disini terlalu biasa. Begitu pun dengan barisan cast lain yang tampil ala kadarnya, tidak terkecuali aktor peraih Oscar, Jeff Bridges atau Michael Sheen yang terlalu British.

Sayang memang, apa yang ditampilkan oleh Disney lewat produk terbarunya kali ini kembali di luar pengharapan. Setelah menuai sukses gila-gilaan lewat Alice in Wonderland dan Toy Story 3, Disney dibuat kecewa dengan hasil dari film adaptasi game Prince of Persia: The Sands of Time dan The Sorcerer's Apprentice. Kini kita lihat saja sendiri apa studio raksasa tersebut bisa menuai sukses lewat produk terakhirnya di 2010 ini, mengingat proyek ini sudah disuntik dana sekitar $200 juta lebih.

Kamis, 16 Desember 2010

Babies (2010)


Cast: Panijao, Bayar, Hattie, Mari
Director: Thomas Balmes
Genre: Documentary
Overall: 6,5/10

Bayi selalu saja memperlihatkan tingkah lakunya yang lucu dan menggemaskan yang pastinya akan disukai oleh orang dewasa, hal itulah yang ingin disampaikan oleh Thomas Balmes lewat karya dokumenternya bertajuk Babies. Dengan durasi yang cukup sekitar 80 menit, Balmes menyuguhkan kehidupan 4 bayi dari 4 negara diantaranya, Panijio yang hidup di tengah gersangnya tanah Namibia, Afrika. Kemudian Bayar yang tinggal di pedesaan terpencil Mongolia, lalu Mari seorang bayi Jepang dan terakhir ada Hattie yang hidup di kota San Fransisco.

Bagi yang kurang berminat akan film dokumenter, anda patut mencoba karya yang satu ini. Babies, boleh dibilang sangatlah berbeda dengan film dokumenter kebanyakan, hal ini terlihat jelas dari tidak adanya sumbangsih suara sang narator guna menjabarkan setiap situasi yang sedang kita tonton. Sepanjang film kita hanya disuguhi tingkah polah dari keempat bayi, baik itu sedang tertidur, menangis, tertawa, berceloteh hingga belajar berjalan. Meski begitu, seperti yang saya bilang tadi apapun yang dilakukan oleh seorang bayi pastinya selalu menbuat orang-orang gemas melihatnya. Dan hal ini berhasil ditampilkan oleh Balmes, di mana usahanya patut kita acungi jempol. Bayangkan saja, Balmes pastinya membutuhkan ekstra kesabaran dalam menyorot kehidupan masing-masing bayi sedari lahir hingga mencapai waktu kira-kira setahun guna mendapatkan moment-moment bagus dari sang bayi.

Satu paling utama yamg membuat dokumenter ini menjadi menarik adalah perbandingan kehidupan dari keempat bintang utamanya. Di satu sisi Hattie, Bayar dan Mari mendapatkan apa yang seharusnya didapat oleh seorang bayi, meski Bayar memang sedikit tidak terpantau. Satu contoh, seperti seringnya ia berinteraksi dengan hewan peliharaan keluarganya. Namun hal itu tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan bersama kehidupan Panijao yang sungguh berbanding terbalik dengan ketiga bayi lain dan rasanya bayi dari Afrika inilah yang lebih membekas di hati penonton. Bukan karena "keterbukaan" dari orang-orang dewasa di sekitarnya melainkan lebih ke arah keprihatinan akan hidupnya. Bayangkan, ketika ia sedang merangkak di tanah, memungut tulang lalu mengulumnya atau bahkan saat ia meminum air tanah. Dan dari pemandangan itulah, kita sudah cukup tahu mengenai penyebab mengapa selama ini bayi-bayi/anak-anak dari Afrika selalu mengalami kesehatan yang buruk.

Di luar kelucuan yang saya jabarkan tadi, sebenarnya Babies menyimpan satu kekurangan. Babies memang tidak tampak seperti film dokumenter pada umumnya, isi dari film ini tidaklah memberikan pengetahuan atau berupa pesan saperti yang biasa kita dapatkan lewat film-film dokumenter kebanyakan. Sekedar lucu-lucuan dan mungkin memang itulah tujuan dari Balmes yang awalnya membuat proyek ini hanyalah untuk menghibur penonton lewat adegan lucu nan imut dari seorang bayi. Menghibur, santai dan tidak perlu bersusah payah dalam mencerna film ini ketika kita menyantapnya.

Sabtu, 11 Desember 2010

Scott Pilgrim vs. the World (2010)


Cast: Michael Cera, Mary Elizabeth Winstead, Ellen Wong, Kieran Culkin, Anna Kendrick
Director: Edgar Wright
Genre: Adventure, Comedy, Fantasy
Overall: 6/10

Jika hanya berbekal menilik dari posternya saja dimana seorang pria sedang memainkan gitarnya dan mengetahui bahwa film ini adalah satu film yang disadur dari sebuah komik, dipastikan bagi siapapun akan kesulitan untuk menerka seperti apa jalan cerita dalam film ini. Film yang diangkat berdasarkan seri komik karya Bryan Lee O'Malley ini memang bukanlah suatu karya populer seperti halnya Spiderman, Batman atau Superman. Jadi tidak heran jika akhirnya ketika film ini mulai dirilis tidak banyak orang yang tahu.

Scott Pilgrim vs. the World pun tidak tampil seperti film adaptasi komik pada umumnya jika dilihat dari sisi cerita. Inti kisahnya terbilang biasa dan dipastikan tidak akan menarik rasa penasaran akan film ini. Seorang pemuda bernama Scott (Cera) harus berjuang keras dalam mendapatkan cinta seorang gadis bernama Ramona (Winstead) namun usahanya tersebut tidaklah mudah dikarenakan Scott haruslah melawan ke-7 mantan pacar sang gadis pujaan.

Dari premisnya tentu kita sudah sering temui dalam film-film remaja. Lalu, apa jadinya jika tema seperti pengejaran cinta seorang remaja yang biasanya dituturkan secara biasa-biasa saja, kini disisipi semisal adu kekuatan ala superhero? Di sinilah letak dimana saya sedikitnya tidak bisa menerima apa yang disuguhkan oleh Scott Pilgrim vs. the World atas keabsurdan dan tidak masuk akalnya cerita. Sebagai bahan perbandingan, jika kita menonton pertarungan superhero dengan kekuatan impossiblenya bahkan melebihi apa yang dimiliki Scott, kita sebagai penonton tidaklah memandang bahwa itu adalah sesuatu yang dianggap absurd, karena apa yang ada didalamnya sudah didukung oleh situasi, orang-orang sampai tempat yang membuat kita langsung menerima tanpa bantahan sama sekali atas satu peristiwa tidak masuk akal yang sedang kita tonton. Lain hal dengan Scott Pilgrim vs. the World, cerita anehnya tidak didukung oleh poin yang saya sebutkan tadi. Satu contoh, saat Scott bertarung seperti saling pukul, ditendang, dilempar ke atas kemudian terhempas ke bawah, tidak ada satupun cedera/luka kecil yang didapatnya. Itulah satu keanehan yang tidak bisa saya terima dari film ini.

Di luar itu, sebenarnya film garapan Edgar Wright ini adalah suatu tontonan yang unik dalam hal penyajiannya. Menonton Scott Pilgrim vs. the World layaknya kita sedang menikmati sebuah komik. Hal ini terlihat dari editingnya yang berpindah cepat khususnya ketika muncul caption sebagai penambah efek suara seperti pukulan, telepon atau bel pintu. Unik, seru dan fun mungkin dirasa oleh sebagian orang atas film ini, namun bagi saya pribadi film ini hanyalah suatu tontonan yang unik dengan daya imajinasi tinggi tanpa cerita yang berarti.