Senin, 27 September 2010

Frozen (2010)


Cast: Emma Bell, Kevin Zegers, Shawn Ashmore
Directore: Adam Green
Genre: Drama, Thriller
Overall: 7/10

Malang bagi Parker (Emma Bell), Lynch (Shawn Ashmore) dan Dan (Kevin Zegers) ketika operator kursi lift ski yang mengizinkan kenekatan mereka untuk pulang di malam hari akhirnya malah menyerahkan tugas kerjanya pada rekannya yang menimbulkan kesalah pahaman sehingga menyebabkan mereka terjebak di kursi lift tersebut dengan kenyataan tidak ada seorang pun yang tahu akan keberadaan mereka di atas sana. Hal ini semakin diperparah akan ditutupnya tempat tersebut selama lima hari ke depan dikarenakan akan datangnya cuaca buruk. Dimulailah ketakutan dari tiga kawan tersebut dengan mengambil keputusan apakah akan bertahan dengan kemungkinan terserang hyportemia ataukan terjun dengan kemungkinan patah tulang.

Melihat dari premis dan trailer yang ada jelas Frozen sudah pasti diperkirakan bukanlah suatu tontonan thriller yang bisa membuat ketegangan berarti bagi penonton. Namun secara mengejutkan apa yang dihadirkan Adam Green selaku sutradara dan penggagas cerita boleh dikata sangatlah berhasil dalam menyajikan suatu ketegangan dengan ruang lingkup nyata tanpa harus menjejalkan scene-scene klise yang biasa ditampilkan oleh genre thriller kebanyakan dan hasilnya malah jauh lebih menegangkan. Ketegangan penonton berhasil dipancing dengan tensi yang terus berkembang ditambah emosi antar cast ketika berjuang bertahan begitu jelas terasa dengan dialog yang terlihat natural.

Minim setting, minim karakter dan minim durasi memang tapi hal itu jelas menjadikan suatu tontonan yang tergali secara maksimal untuk menciptakan suatu film thriller tegang yang jauh lebih berkesan menakutkan. Bosan dengan gadis seksi malang yang menjerit-jerit lalu modar karena dikejar-kejar monster atau psikopat? Cobalah Frozen eerrrrrr...

Passengers (2008)


Cast: Anne Hathaway, Patrick Wilson, Dianne Wiest, David Morse
Director: Rodrigo Garcia
Genre: Drama, Mystery, Thriller
Overall: 6/10

Cukup mengejutkan memang ketika mengetahui film produksi dua tahun lalu dan di Indonesia sudah beredar satu tahun lalu yang dibintangi Anne Hathaway bertajuk Passengers nyatanya baru tayang dibioskop Bandung tahun ini. Rentang waktu yang amat panjang memang. Dan rasanya mungkin bagi sebagian penonton pun kurang begitu antusias akan kehadiran film ini karena pada kenyataannya pun film ini sudah ada dalam bentuk DVD yang bisa disewa atau bahkan bisa dinikmati lewat tv kabel yang biayanya jauh lebih murah ketimbang membeli tiket bioskop di XXI.

Passengers memang sebuah film drama thriller yang dalam peredarannya begitu terbatas. Hal itu mungkin disebabkan oleh kandungan isi film yang nyatanya bisa saja membuat penonton kebosanan akan alur cerita yang ada. Alurnya berjalan begitu lambat dan penonton yang terbiasa akan suguhan kisah thriller yang menegangkan dipaksa untuk terus tenang dan sabar dalam menyimak scene demi scene dari film yang aroma thrillernya kurang begitu terasa.

Namun sang sutradara Rodrigo Garcia memberikan klimaks pada ending dengan menyajikan twist ending yang tidak bisa ditebak sebelumnya oleh penonton. Dan hal ini rasanya sedikit mengobati suntuknya penonton akan kesabaran dalam menyimak kisah buatan Ronnie Christensen ini. Meski memang tidak semantap twist yang dimiliki The Others atau The Sixth Sense.

Passengers memang bukan suatu tontonan yang istimewa dan berkesan namun bagi para fans Anne Hathaway rasanya film ini patut dijajal karena sekali lagi disini ia membuktikan dirinya mampu berakting pasca penampilannya yang gemilang lewat Rachel Getting Married. Sebagai selingan tontonan boleh lah...silahkan coba.

Changeling (2008)


Cast: Angelina Jolie, John Malkovich, Jeffrey Donnofan, Michael Kelly, Jason Butler Harner
Director: Clint Eastwood
Genre: Drama, Thriller
Overall: 7,5/10

Clint Eastwood memang sudah tidak diragukan lagi kapasitasnya sebagai aktor terlebih ketika dirinya turun tangan menjabat sutradara. Dua gelar sutradara terbaik lewat Unforgiven (1992) dan Million Dollar Baby (2004) dalam ajang penghargaan tertinggi perfilman dunia Academy Awards adalah sebagai bukti nyata dan semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah satu sineas terbaik dimana setiap karya yang ia telurkan hampir selalu memiliki kualitas yang jempolan. Selain membawa filmnya masuk dalam jajaran terbaik di setiap ajang festival, barisan cast yang ia arahkan pun dimana tercatat nama Sean Penn, Tim Robbins, Hillary Swank, dan Morgan Freeman sukses dalam membawa pulang Oscar termasuk nama-nama aktor/aktris lain yang digarap olehnya minimal masuk sebagai nominasi.

Melihat keberhasilan tersebut Eastwood pun dikenal sebagai sineas yang piawai dalam mengarahkan aktor/aktrisnya. Mungkin karena itu pula yang menjadikan Angelina Jolie tertarik dan bersedia diarahkan untuk melakoni peran seorang ibu yang kehilangan anaknya, dimana ceritanya sendiri diangkat berdasarkan kisah nyata di tahun 1928 dalam film yang bertajuk Changeling.

Jolie memerankan sosok single parents bernama Christine Collins yang tengah dilanda kegelisahan karena kehilangan anaknya ditambah tuduhan oleh pihak kepolisian setempat yang menyatakan dirinya mengalami depresi berat karena menolak putranya yang telah berhasil ditemukan karena kenyataannya bocah tersebut bukanlah putranya. Kasus Collins sendiri mendapat sorotan besar dari media dan mendapat dukungan simpati dari pendeta Gustav Briegleb (John Malkovich) beserta pengikutnya untuk menguak kebenaran yang ada.

Entah mengapa saya kurang begitu tertarik akan satu karya dari Eastwood ini dan bagi saya Changeling memang bukan pilihan utama dalam menikmati film-film yang masuk jajaran terbaik Oscar 2009. Baru minggu ini akhirnya saya menonton dan cukup menikmati tontonan drama berbalut thriller yang awalnya saya pikir akan cukup berat dalam menyantapnya. Namun walhasil Changeling boleh dibilang merupakan sebuah tontonan yang cukup ringan dengan jalinan kisah yang 'tak begitu rumit tapi tensinya tetap terjaga. Meski durasi yang ada memanglah panjang namun Eastwood cukup berhasil membuat penonton begitu bersimpati dan betah dalam menikmati suguhan cerita atas apa yang menimpa sosok yang dilakoni Jolie.

Satu kelemahan dari film ini, terletak pada eksekusi yang ada terasa terlalu dipanjang-panjangkan dan memaksa penonton menyimak suatu rentetan happy ending yang sebenarnya sudah cukup diakhiri ketika tokoh Collins sendiri bisa menerima kenyataan nasib tragis yang dialami putranya dan hal itu tentu saja terlepas dari kisah nyata yang ada.

Changeling memang bukan suatu film yang menonjol dalam naskah melainkan barisan cast lah yang menyelamatkan film ini dan hal ini tentu saja tidak terlepas dari keberhasilan Eastwood yang sekali lagi sukses dalam menggarap setiap pemain yang direkrutnya. Jolie memang yang paling disorot akan kesuksesannya dalam menyampaikan emosi namun bagi saya justru Jason Butler Harner (Gordon Northcott) lah yang terasa paling berkesan meski porsi tampilnya sangatlah sedikit. Mimik, gerak tubuh dan nada bicaranya terlihat brillian dan coba tengok siapa yang tidak merinding ketika ia menyanyikan lagu Holly Night menjelang eksekusinya.

Minggu, 19 September 2010

Hello Stranger (2010)


Cast: Nuengtida Sopon, Chantawit Thanasewee
Director: Banjong Pisanthanakun
Genre: Drama, Comedy, Romance
Rating: 7/10

Perfilman Thailand memang sudah terbukti mampu menembus pasar internasional dengan diterima baiknya film-film yang diedarkan di luar negaranya termasuk di Indonesia. Tahun ini penonton berhasil ditakut-takuti lewat Phobia 2 dan sukses dibuat tertawa oleh jalinan kisah romkom lewat Bangkok Traffic Love Story. Dan kini hadir kembali film terbaru dari negeri gajah putih ini yang kembali khusus diputar hanya di Blitzmegaplex lewat film bertajuk Hello Stranger.

Kita sebut saja Dia laki-laki (He) dan Dia perempuan (She) dua warga Thailand yang sedang berlibur ke Korea. He (Chantawit Thanasewee) mengikuti sebuah tour wisata yang sebenarnya guna menghindari masalah yang tengah dihadapinya sementara She (Nuengtida Sopon) berniat mengunjungi pernikahan temannya sambil mengunjungi tempat-tempat syuting serial Korea favoritnya. Secara tidak sengaja mereka bertemu yang diawali oleh mabuknya He dan pingsan di depan apartemen yang disewa She. Merasa kasihan padanya akhirnya She menariknya masuk dan membiarkannya tertidur diteras dalam apartemennya. Mabuk beratnya He membuat dirinya tertidur pulas sehingga tertinggal bus wisatanya. Mengingat He yang tidak tahu apa-apa mengenai Korea dan ini adalah perjalanan pertamanya ke luar negeri ditambah kurang fasihnya ia dalam berbahasa Inggris membuat She mau 'tak mau harus menemani teman asing senegaranya itu. Dari sini dimulai kebersamaan mereka yang uniknya selama bersama, mereka tak menyebutkan masing-masing nama mereka.

Sama seperti sebelumnya film Thailand bukanlah pilihan utama bagi saya. Dua film yang saya tonton sebelumnya murni karena pengaruh teman-teman juga ramainya sedang diperbincangkan. Begitupun dengan Hello Stranger yang akhirnya saya tonton setelah cukup banyak orang yang berpendapat bahwa film ini bagus. Dan nyatanya memang benar, meski dari cerita memang bukan hal yang baru namun apa yang tersaji di dalamnya adalah sebuah hasil ramuan kisah cinta yang berkesan. Ceritanya sederhana namun menghibur lewat tingkah konyol kedua cast utamanya. Tapi anda jangan kuatir, porsi kekonyolannya memang lumayan besar namun hal tersebut tidaklah mengganggu jalannya cerita. Cerita tetap berjalan lancar dan memberikan momen-momen yang terasa romantis dan berhasil membawa emosi penonton meski seperti yang tadi saya bilang banyak ditingkahi oleh kelakuan konyol diantara keduanya. Ekesekusinya pun terasa pas dan tidak terkesan memaksa seperti romkom kebanyakan.

Nuengtida Sopon dan Chantawit Thanasewee sebagai cast utama berhasil membuat penonton jatuh hati kepada mereka atas apa yang mereka tampilkan di layar. Chantawit Thanasewee hadir begitu menyebalkan bagi sebagian gadis dengan humor-humor garingnya tapi disatu sisi terlihat begitu manis dalam mengeluarkan ekspresi lewat senyum dan tawa lepasnya. Sementara Nuengtida Sopon tampil begitu manis dan makin manis ketika ia ikut-ikutan gila. Keduanya memang tampil begitu natural dan berhasil dalam menciptakan satu chemistry yang klop.

Berbicara mengenai sutradara coba anda tengok namanya. Sulit memang untuk mengenali atau mengingat bahkan melafalkan satu nama Thailand. Tapi sepertinya nama Banjong Pisanthanakun cukup tidak asing ditelinga kita khususnya bagi kita yang yang mulai menikmati sajian horror Thailand. Ya, Banjong Pisanthanakum adalah sineas dibalik suksesnya Shutter dan Alone juga mengisi salah satu segmen di 4bia. Jadi cukup mengejutkan ketika mengetahui Pisanthanakum adalah dalang dibalik Hello Stranger. Dengan melihat hasil pencapaiannya dalam mempersembahkan kisah komedi romantis perdananya Pisanthanakum berhasil dalam menyajikan tontonan yang ringan nan menghibur.

Bagi saya Hello Stranger sedikit mengingatkan saya kepada Before Sunrise yang memang sama-sama mengangkat kisah pertemuan dua orang asing 'tak saling kenal hingga menemukan kecocokan satu sama lain. Jika Before Sunrise lebih menonjolkan dialog cerdas dan berkesan sementara Hello Stranger lebih ketingkah konyol namun anehnya hal itu malah berkesan pula. Tapi tentu saja film ini belum bisa dikatakan sejajar dengan kisah cinta satu malamnya Ethan Hawke dan Julie Delpy tersebut. Jika anda suka dengan Bangkok Traffic Love Story yang sama-sama berangkat dari Thailand dipastikan andapun akan suka dengan film ini. Tertawa sekaligus menyentuh inilah yang saya rasakan ketika menonton film ini dan akhirnya berharap mungkin suatu saat akan mengalami hal yang serupa dan berucap "Hello Stranger"

Rabu, 15 September 2010

The Water Horse : Legend of the Deep (2007)


Cast: Alex Atel, Bruce Allpress, Geraldine Brophy, Ben Chaplin
Director: Jay Russel
Genre: Adventur, Family, Fantasi
Rating: 6,5/10

Kurang semangat. Itulah kesan pertama saya ketika akhirnya harus mengiyakan sepupu yang memilih The Water Horse : legend of the Deep sebagai tontonan untuk mengisi liburannya. Kurang semangatnya saya cukup beralasan mengingat filmnya sendiri kurang begitu bergaung sebagai tontonan keluarga dan melihat premis yang ada nyatanya terasa begitu klise karena sebelum-sebelumnya banyak film yang menggunakan tema mengenai persahabatan antara bocah dan makhluk asing.

Kisahnya sendiri dimulai ketika bocah bernama Angus (Alex Etel) menemukan sebuah telur aneh di pinggir pantai. Telur tersebut nantinya akan menetas menjadi seekor makhluk aneh dan misterius yang perkembangannya begitu pesat. Dengan pertumbuhannya yang semakin membesar akhirnya mau tidak mau Angus harus membiarkannya bebas di laut. Namun hal ini malah menimbulkan bahaya bagi makhluk itu sendiri karena seringnya memunculkan diri dan dilihat banyak orang sehingga banyak pihak yang berniat memburunya. Bagimana? Klise bukan?

Cukup mengejutkan atas hasil dari film ini. Yang awalnya saya memandang sebelah mata terhadap film ini tidak sepenuhnya terbukti. Hasilnya lumayan begitu manis. Memang hasil peredarannya tidak begitu menggembirakan namun hal itu bukan semata-mata karena tidak istimewanya film ini dalam berbagai segi.

The Water Horse : Legend of the Deep memiliki keunggulan tersendiri seperti dalam hal visualisasi yang memperlihatkan setting juga berupa pemandangan yang terasa begitu menyejukan mata. Kisahnya pun boleh dikata istimewa karena berada dalam kondisi perang dunia. Dalam hal ini sang sutradara lah yang harus pintar-pintar dalam mencampurkan kisah anak-anak tanpa harus terganggu oleh kisah perang dunia yang cenderung dipenuhi oleh kekerasan. Dan Jay Russel cukup berhasil dalam melakukan tugasnya. Sang bocah yaitu Alex Etel memang menjadi sorotan paling utama karena memang porsi tampilnya besar. Penampilannya disini begitu natural sama seperti yang diperlihatkannya lewat Millions.

The Water Horse : Legend of the Deep memang kurang begitu bergema menjadi sebuah tontonan keluarga. Namun film ini hadir dengan begitu pas kemasannya sebagai produk yang diperuntukan bagi seluruh keluarga. Jadi saya sarankan bagi siapapun yang memiliki adik, sepupu atau berniat ingin menghabiskan waktu bersama keluarga diselingi oleh tontonan yang tidak begitu rumit cobalah film ini.

Lars and the Real Girl (2007)


Cast: Ryan Gosling, Emily Mortimer, Paul Schneider, Kelli Garner, Patricia Clarkson
Director: Craig Gillespie
Writer: Nancy Oliver
Genre: Drama, Comedy
Rating: 7/10

Nampaknya beralasan mengapa orang-orang menganggap Lars (Ryan Gosling) adalah sosok pemuda yang aneh yang tampak begitu menikmati kesendiriannya dengan tinggal di garasi bekas kakaknya dan tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Pandangan aneh pun semakin kuat ditujukan padanya ketika suatu saat ia memeperkenalkan seorang wanita yang diakui sebagai pacar kepada saudara lelaki dan kakak iparnya. Namun hal itu malah membuat syok mereka berdua. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya sosok wanita bernama Bianca itu adalah sebuah boneka seks yang ia beli lewat internet.

Tampak aneh memang ketika kita membaca premis ditambah tampilan salah satu poster yang ada memajang sosok boneka yang ditujukan sebagai alat kebutuhan seks pria dewasa. Dua hal tersebut pastinya memberikan gambaran kepada kita akan jalan cerita film ini yang kesannya mungkin lebih menjurus ke hal-hal yang cenderung jorok. Namun secara mengejutkan apa yang dipersembahkan sang sutradara berhasil dalam membawa penonton ikut masuk dalam cerita yang nyatanya begitu menyentuh dan jauh dari kesan yang diperkirakan sebelumnya. Film ini hadir dengan porsi yang begitu pas antara tema drama dan komedi. Dan yang paling utama, penilaian hebat tentunya kita tujukan bagi Ryan Gosling sebagai cast utama yang begitu berhasil dalam menghidupkan sosok Lars yang anti sosial juga aneh dan sukses dalam memancing empati penonton terhadap karakter yang ia mainkan.

Lars and the Real Girl memang suatu tontonan yang mengejutkan bagi saya dengan hasil yang didapat begitu manis. Walau sebenarnya cerita yang ada tergolong absurd namun ada keunikan tersendiri lewat pesan yang tersampaikan melalui interaksi antara Lars dan sang pacarnya yang ditimpali oleh sikap orang-orang disekitarnya. Anda pasti akan tertawa, terharu bahkan mungkin sampai menangis ketika menyimak kisah mengharukan ini.

Selasa, 14 September 2010

City of God (2002)


Cast : Alexandre Rodrigues, Leandro Firmino, Phellipe Haagensen
Director : Fernando Meirelles
Genre : Drama, Crime
Rating : 8/10

Siapapun pasti tidak ingin menetap di Kota Tuhan (City of God).Sebuah kota yang terletak di Rio de Janeiro, Brasil. Kota yang diperuntukan bagi orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal atau pekerjaan. Kota yang begitu kacau akan kondisinya yang ada. Kriminal secara terang-terangan meraja lela, peredaran narkotika begitu lancar berjalan begitupun dengan seks bebas. Kota sepenuhnya dikuasai oleh para gangster. Salah satu yang paling berpengaruh dan berkuasa sekaligus paling berbahaya adalah Li'l Ze. Semua aturan di Kota Tuhan sepertinya berjalan sesuai kehendaknya dan menjadikan ia merasa sebagai orang yang paling tinggi kedudukannya di kota tersebut. Hingga pada satu kesempatan ada sesuatu yang rasanya dianggapnya masih belum berjalan dengan semestinya. Dalam hal ini mengenai soal perdagangan narkoba yang memang bisnis tersebut merupakan lahan basah yang begitu menggiurkan. Ada satu saingan yang dianggapnya masih menghalangi jalan menuju kesuksesannya. Satu pengedar yang telah lama bergelut di dunia narkotik ini bernama Carrot. Telah lama ia merencanakan untuk segera memberesakan rivalnya tersebut namun niat tersebut selalu terhalang partnernya bernama Benny. Lalu satu insiden terjadi yang menyebabkan Benny tewas dan Li'l Ze mengganngap kawanan Carrot lah para pelakunya. Hal ini kemudian menimbulkan perang antar kubu dan makin membesar. Pertikaian ini menarik minat media massa untuk mengulasnya dan menjadikan kasus di Kota Tuhan ini mendapat sorotan begitu besar.

Aneh memang jika kita menilik judulnya yang bertajuk City of God dan pastinya sedikit memberikan gambaran kepada kita mengenai cerita yang akan tersaji di dalamnya. Namun prediksi cerita tadi akhirnya terbuyarkan ketika kita dengan seksama menyimak tampilan poster yang ada. Nuansa suram dengan gerombolan pemuda mengacungkan pistol tentunya memunculkan pertanyaan apa maksud dari gambar ini. Dan akhirnya ketika kita selesai dalam menyaksikan kisah dalam film ini ternyata kata God disini sebenarnya tidak ditujukan kepada Tuhan melainkan lebih tertuju bagi para gangster. Tuhan memiliki kuasa penuh atas jalan kehidupan manusia dan di sini pun para gangster sedikitnya digambarkan bertindak layaknya Tuhan yang mengendalikan apa-apa yang ada di sana. Untuk lebih mengerti dalam menafsirkan apa yang saya maksudkan tadi anda bisa cari tahu ketika menonton filmnya kelak.

City of God
menggunakan alur flashback dalam menuturkan cerita. Tapi tidak seperti kebanyakan film-film beralur sama yang kadang membuat pusing penonton justru film ini memberikan keasyikan tersendiri dalam penuturan jalan cerita. Sama sekali tidak membuat pusing yang bisa menyebabkan penonton harus berpikir keras di awal-awal karena hal tersebut dibantu oleh narasi dari karakter Rocket yang menjabarkan satu persatu asal muasal tempat atau julukan yang ada di Kota Tuhan. Mungkin anda akan bingung sekaligus kaget menyimak opening scenenya justru dari sinilah keasyikan tersebut dimulai karena didalamnya juga terkandung beberapa twist yang tidak kita duga sebelumnya.

Dari segi teknis film ini begitu unggul dalam sisi sinematography dan setting kota yang divisualisasikan terasa begitu nyata akan kondisi yang benar-benar kacau dan mengerikan. Editingnya pun terbilang rapi ditambah tata musik yang ada membuat film semakin hidup.

Menonton City of God membuat saya serasa masuk ke dalam dunia yang tanpa ada pesan moral sedikitpun dalam menikmatinya. Dan jelas hal ini karena kepintaran Fernando Meirelles selaku sutradara yang telah mempersembahkan kisah nyata mengerikan yang disadur ke dalam sebuah film dan hasilnya menjadi sebuah tontonan terbaik dan sempurna lewat kisah juga dari segala aspek segi yang ada.

Fernando Meirelles masuk dalam jajaran nominasi sutradara terbaik di ajang Oscar begitupun dengan sinematography, naskah serta proses editingnya yang dianggap sempurna. Mungkin saya belum menyimak ke 5 film yang masuk dalam jajaran nominasi Best Foreign Language Film tapi rasanya memang aneh mengapa City of God tidak ikut serta dalam jajaran sebagai yang terbaik.

Memang tidak ada pesan moral yang bisa kita contoh dalam rentetan kisah di film ini namun setidaknya kita bisa mencontoh dari karakter yang boleh dibilang pasif di sini yaitu Rocket. Meski hidupnya berada ditengah-tengah segala hal yang tidak bermoral namun dengan keteguhan hati ia pun bisa mencapai atas apa yang dicita-citakannya.

Sang Pencerah (2010)


Cast : Lukman Sardi, Zaskia A. Mecca, Ikranegara, Slamet Rahardjo Djarot, Agus Kuncoro, Sudjiwo Tedjo
Director : Hanung Bramantyo
Genre : Drama, Biopik
Rating : 7/10

Sangat jarang rasanya perfilman Indonesia mengangkat tema film biopik ke layar lebar. Yang saya ingat hanya Raden Ajeng Kartini, Tjoet Nja' Dhien, Marsinah dan Gie. Dari film-film yang saya sebutkan tadi hanya Gie yang baru saya tonton. Jika kita membandingkan dengan perfilman Hollywood sangat jauh memang. Tapi rasanya kita patut bercermin pada perfilman disana khususnya jika kita berbicara mengenai film biopik.

Banyak film biopik yang sudah diproduksi dan rata-rata film dengan tema seperti ini selalu memiliki kualitas yang bagus. Dan biasanya pula selalu masuk dalam jajaran nominasi di ajang-ajang festival khususnya bagi aktor/aktrisnya sendiri yang melakoni tokoh yang diangkat. Rumah produksi disana rasanya tidak perlu ambil pusing soal peredarannya yang tidak meraup laba maksimal karena rasanya niat awal dari pembuatanpun memang senagaja diperuntukan ikut serta dalam berbagai festival. Mungkin inilah yang masih mengganjal di dunia perfilman kita. Rumah produksi kita rasanya masih harus pikir panjang untuk merealisasikan proyek tema seperti ini jika ingin kembali balik modal dan pada kenyataannya pun film dengan tema seperti ini rata-rata selalu dijauhi oleh mayoritas penonton karena tone-nya yang cenderung serius.

Menjelang libur lebaran tahun ini, akhirnya satu lagi film biopik karya sineas kita kembali hadir bertajuk Sang Pencerah. Filmnya sendiri bertutur mengenai sosok K.H Ahmad Dahlan seorang tokoh pendiri organisasi islam Muhammadiyah. Cerita dimulai dari Ahmad Dahlan muda yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis (Ihsan Tarore) yang mulai dilanda kebingungan melihat kegiatan keagamaan di lingkungannya yang sering disangkut pautkan dengan tradisi/kebiasaan yang menjurus ke hal-hal yang berbau mistis. Hal ini membuatnya memilih untuk menunaikan ibadah haji guna mempelajari islam lebih dalam.

Lima tahun kemudian, Muhammad Darwis yang sudah berganti nama mejadi Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) kembali ke kota kelahirannya dan masih melihat situasi yang sama malah kegiatan agamanya pun semakin banyak yang melenceng. Dan akhirnya Ahmad Dahlan berniat untuk melakukan perbaikan dan meluruskan hal-hal yang dianggapnya tidak benar. Dan tentu saja usahanya tersebut tidaklah mudah karena banyaknya tentangan dari para pemuka agama tua disana.

Hanung Bramantyo selaku sutradara sekaligus penulis naskah boleh saya bilang berhasil dalam menuturkan kisah seorang K.H Ahmad Dahlan. Penuturannya tidak terlalu berat seperti kebanyakan film biopik kebanyakan. Alur kisahnya mengalir dengan baik. Untuk mengatasi kebosanan penonton Hanung menyisipkan humor-humor didalamnya. Sinematografi juga setting kota Yogyakarta dimasa lampau terasa begitu nyata. Tata musik yang adapun menjadikan film semakin hidup. Khusus bagi Lukman Sardi sebagai cast utama, ia tampil begitu natural. Kharismanya sebagai seorang yang berwibawa dan pasrah berhasil ia tampilkan. Dan sekali lagi disini ia membuktikan diri sebagai aktor muda berbakat yang rata-rata berhasil dalam menghayati. Kelak ia akan menjadi aktor watak yang jempolan nantinya. Untuk jajaran pemeran lain tidak ada yang terasa mubazir, hampir semua bermain pas sesuai porsinya termasuk penampilan perdana Giring sebagai aktor. Mungkin hanya Zaskia A. Mecca lah yang kehadirannya agak kurang berkesan. Porsi tampilnya lumayan besar tapi minim dengan dialog. Ekspresi sedih atau musam mesemnya bolehlah tapi ketika mengucap dialog kok agak kurang ya. Tapi hal itu tidak terlalu mengganggu.

Diluar nilai-nilai plus yang saya sebutkan diatas sebenarnya pesan-pesan agama yang tersirat didalam rangkaian cerita kurang begitu berkesan bagi saya. Mungkin ini dikarenakan saya termasuk seorang yang lahir dan hidup dalam lingkungan keluarga Jawa yang memang masih melakukan berbagai tradisi yang rasanya harus tetap dilakukan. Dan tradisi yang dijalani pun rasanya tidak menjurus ke hal-hal berbau mistis. Namun diluar itu, kembali ke rentetan nilai plus yang saya sebutkan sudah pasti Sang Pencerah masuk dalam film yang sangat layak tonton. Bagi saya film ini berhasil memberikan saya banyak tahu akan sejarah khususnya sosok seorang K.H Ahmad Dahlan. Dan rasanya mungkin inilah persembahan karya Hanung yang paling baik dan film ini pula rasanya akan menjadi tontonan film Indonesia paling baik untuk tahun ini.