Selasa, 31 Agustus 2010

Across the Universe (2007)


Cast: Jim Sturgess, Evan Rachel Wood, Joe Anderson, Dana Funchs, Martin Luther, T.V. Carpio
Directed: Julie Taymor
Genre: Drama, Musical, Romance
Rating: 7/10

Menilik judulnya yang bertajuk Across the Universe, bagi saya atau yang kurang begitu suka akan band lawas The Beatles pastinya tidak akan langsung 'ngeh bahwa ternyata film ini murni seperti sebuah tribute bagi grup legendaris tersebut dan diharapkan mampu menghibur penonton khususnya para penggemar The Beatles.

Disutradarai oleh Julie Taymor yang sebelumnya membuat drama Tatus (1999) dan biopic Frida (2002). Adapun castnya, Across the Universe menempatkan bintang kurang terkenal diantaranya Jim Sturgess, Evan Rachel Wood, Joe Anderson, Dana Funchs dan sederet sekuter lainnya. Meski ada nama Evan Rachel Wood tapi nampaknya hal tersebut tidak menjadi suatu jaminan akan ketertarikan penonton akan film ini.

Across the Universe menyampaikan kisah percintaan antara Jude (Sturgess) dan Lucy (Rachel Wood) . Jude adalah pemuda asal Inggris yang pergi ke Amerika guna mencari ayah kandungnya dan disana ia bertemu dengan Lucy yang baru saja ditinggal mati kekasihnya karena perang Vietnam. Bukan hanya kisah percintaan saja yang lebih dikedepankan alur ceritapun diselingi isu seputaran politik dan perang.

Dari ceritanya sendiri sebenarnya sudah cukup menarik namun tampaknya sisi visual-lah yang lebih berbicara. Film ini lebih menunjukan artistik khususnya seperti yang saya katakan tadi visualisasi dalam film ini memang lebih menonjol dan menarik ketimbang alur kisahnya sendiri. Satu contoh, visualisasinya lagu "Because" hmmmmmm.....Untuk ramuan musiknya sendiri dengan lagu-lagu The Beatles yang digubah ulang terasa lebih muda dan tidak terkesan oldies. Sehingga bagi para penonton muda atau yang kurang begitu suka akan lagu-lagunya The Beatles sepertinya akan langsung menyukai karena terasa lebih modern. Sementara untuk para penonton dewasa angkatan The Beatles asli mungkin lagu-lagu aransemen dalam film ini tidak akan terasa tastenya. Hal yang saya maksud terbukti lewat komentar para orang tua dari ketiga teman saya yang kurang begitu suka akan ramuan musik yang ada. Walau hal tersebut tidak bisa dijadikan survey tapi setidaknya sedikit mewakili. Sementara para castnya sendiri patut kita acungi jempol, selain mereka cukup berhasil dalam menghayati perannya masing-masing mereka pun menyanyikan sendiri lagu-lagu The Beatles. Bagi saya, Joe Anderson-lah yang lebih menarik terutama ketika ia menyanyikan hits "Happines Is A Warm Gun" dan satu lagi Dana Funchs yang tampil begitu nge-rock.

Jika mengambil suatu perbandingan antar film sejenis mungkin Mamma Mia! bisa dijadikan sebagai objek pembanding bagi Across the Universe yang sama-sama diangkat dari grup legendaris. Jika Mamma Mia! berhasil menjadi suatu tontonan nostalgia bagi para penggemar ABBA lain hal dengan Across the Universe yang rasanya kurang begitu berhasil dalam menyampaikan tontonan nostalgia bagi para penggemar The Beatles. Across the Universe memang bukan film musikal layaknya Mamma Mia! yang lebih ceria nan menghibur namun dalam soal mutu Across the Universe boleh saya katakan lebih unggul berada satu level diatas Mamma Mia!

Minggu, 29 Agustus 2010

Love Me If You Dare (2003)


Cast: Guillaume Canet, Marion Cotillard
Director: Yann Samuell
Writer: Yann Samuell
Genre: Comedy, Drama, Romance
Rating: 7/10

Memperoleh predikat terbaik dalam ajang Academy Award tentunya menjadi suatu kebanggaan paling besar bagi aktor/aktris manapun. Bagaimana tidak, ajang pembagian patung Oscar tersebut tetap dan akan selalu dijadikan suatu patokan akan puncak karier seseorang yang bekerja di dunia perfilman khususnya bagi aktor dan aktris. Perubahan tentunya akan terjadi. Perubahan hidup terutama dalam pintu karier tentu akan terbuka lebar guna masuknya berbagai kesempatan untuk menerima proyek-proyek menjanjikan ditambah honor yang pastinya akan setingkat lebih tinggi.

Namun percaya atau tidak dengan diterimanya Oscar boleh dibilang akan ada semacam kutukan yang menghampiri. Tidak sedikit aktor/aktris yang berhasil membawa pulang Oscar, kelak film-film yang dibintanginya akan memiliki kualitas yang melempem. Contohnya, anda bisa cek sendiri film-film pasca kemenangan semisal Nicole Kidman, Halle Berry, Julia Roberts dan yang lain.

Namun lain hal bagi Marion Cotillard. Tampaknya keberuntungan masih menyertai pasca kemenangannya lewat La vie en rose. Karirnya terus meningkat dengan berbagai proyek bagus didapatnya. Menemani Johnny Depp dalam Public Enemies, ikut gabung dalam film musikal bertabur bintang Nine dan terakhir tampil dalam film musim panas terbaik tahun ini Inception. Kehadirannya tentu membuat penonton (termasuk saya) semakin jatuh hati akan sosok aktris Prancis yang satu ini. Selain penasaran akan proyek selanjutnya saya pun mulai mencari-mencari film-film apa saja yang pernah ia bintangi dulu. Salah satunya yang saya dapat adalah Love Me If You Dare.

Diceritakan dua anak kecil bernama Sophie Kowalsky (Cotillard) dan Julien Janvier (Canet) yang sudah bersahabat dari kecil dimana mereka selalu menciptakan suatu permainan berisikan tantangan dengan cara menukar miniatur carousel. Permainan tantangan tersebut terus berlanjut hingga mereka besar. Dan tantangannya semakin lama semakin gila. Hingga tanpa mereka sadari permainan tersebut menjadi penghalang akan perasaan sebenarnya antara mereka berdua yaitu cinta.

Marion Cottilard beserta Guillaume Canet sukses dalam menampilkan sosok muda-mudi yang begitu bebas akan kelakuan mereka, chemistry keduanya pun terbangun dengan begitu klop. Yann Samuell selaku sutradara sekaligus penulis naskah menyajikan suatu tontonan cerita cinta yang benar-benar beda. Love Me If You Dare bukanlah suatu tampilan kisah cinta yang mellow. Kesannya lebih ke arah ceria namun boleh dibilang gila. Itu bisa disimak sendiri lewat permainan yang dilakukan antara Sophie dan Julien. Bagi saya sendiri terkesan absurd memang menyimak cerita cinta di film ini yang dipenuhi akan kegilaan, kebebasan hingga kenekatan melepaskan kehidupan nyaman mereka yang sudah diraih hanya demi cinta. Begitupun dengan eksekusi film ini sendiri yang terkesan sangatlah nekat dan begitu tragis. Dan satu lagi visualisasi fantasi dari tokoh utama begitu unik dan menarik lewat warna-warna yang begitu kontras.

Akhirnya, Love Me If You Dare memang memberikan kesan tersendiri bagi saya akan tontonan romantis dengan taste yang berbeda. Namun, tidak memberikan inspirasi juga mengingat banyaknya kenekatan dan kegilaan yang pastinya membutuhkan modal nekat yang sangatlah besar untuk menjadikan film ini suatu inspirasi dalam kehidupan cinta kita.
Satu yang bisa saya simpulkan akan arti cinta dalam film ini. Cinta itu bebas, gila dan menjadikan kita buta. Meureun!!!

Jumat, 27 Agustus 2010

Caramel (2007)


Cast: Nadine Labaki, Yasmine Elmasri, Joanna Moukarzel, Gisele Aouad, Sihame Haddad
Director: Nadine Labaki
Writers: Rodney El Haddad, Jihad Hojeily, Nadine Labaki
Genre: Drama, Comedy
Rating: 8/10

Pada kenyataanya perfilman Hollywood memang mendominasi dalam peredaran perfilman dunia. Selain temanya yang sangat beragam faktor fun pun begitu tinggi dimiliki oleh produk-produk buatan negeri paman sam ini. Tapi tidak sedikit pula para penikmat film kini mulai mencari alternatif lain dalam mencari kepuasan tersendiri dalam hal tontonan yang tidak hanya menampilkan sisi hiburan semata. Dalam hal ini kualitas cerita yang terbilang bagus menjadi suatu poin penting. Film-film Eropa misalnya kini banyak diminati begitu juga film-film dari Asia yang mulai menunjukan geliatnya. Salah satu wakilnya film dari negara yang memang kurang dilirik dunia perfilmannya yaitu Libanon. Ada satu film produksi tahun 2007 yang terasa begitu manis dan renyah sesuai dengan judulnya, Caramel.

Caramel mengisahkan kisah 5 wanita Libanon, pertama seorang pegawai salon bernama Layale yang menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri dimana ia dilanda kegelisahan ketika suatu hari bertemu istri sang pria yang meminta jasanya untuk perawatan diri guna ulang tahun perkawinan mereka. Lalu dua rekan kerja Layale, Nisrine dan Rima yang masing-masing memiliki permasalahan tersendiri. Nisrine tengah kebingungan akan dirinya yang sudah bukan perawan lagi padahal sebentar lagi dirinya akan menikah. Sementara Rima cenderung lebih menyukai sesama jenis. Dua kisah wanita lain ada pada wanita parobaya, Jamale yang mati-matian mempertahankan kemudaannya. Terakhir, perawan tua bernama Rose yang menemukan cinta dihari tuanya namun terhalang oleh kakaknya yang mengalami gangguan mental.

Seperti kita tahu sendiri disekitar tahun 2007 negara-negara semisal Libanon tengah hangat-hangatnya berkembang isu politik dan perang yang melanda negaranya. Hal tersebut nampaknya berdampak pula pada dunia perfilman mereka dimana para sineasnya lebih mengetengahkan tema seputaran isu tersebut. Namun lain hal dengan Caramel, film ini hadir dengan begitu bebas dari unsur muatan politik juga perang. Caramel lebih memfokuskan pada kehidupan para wanita beragam umur dengan ragam masalah yang dihadapi.

Nadine Labaki selaku sutradara sekaligus pemain serta penulis naskah di film ini, dimana Caramel merupakan karya perdananya boleh dibilang berhasil dalam menuturkan setiap konflik karakter yang ada. Labaki dengan sukses mengemas permasalahan yang meliputi cinta terlarang, aturan adat yang begitu kuat, hasrat seksual, permasalahan umur yang selalu ditakuti wanita serta tanggung jawab kepada keluarga diramu secara baik lewat tampilan humor dan drama yang seimbang. Banyak scene menyentuh dan berkesan khususnya lewat karakter Jamale dan Rose. Adapun kegundahan bisa kita rasakan lewat tokoh Layale dan satu scene yang menurut saya sangat pas ditampilkan oleh Rima yang mendapatkan kepuasan hanya dengan membasuh rambut wanita yang dicintainya.

Caramel memang hadir dengan begitu kuat akan aromanya yang sangat wanita. Judulnya sendiri nampak menjadi sebuah perumpamaan akan jalinan cerita difilm ini. Caramel mewakili manisnya kehidupan persahabatan mereka meski masalah pelik menghinggapi masing-masing individu yang diwakili oleh rasa pahit yang dikandung cemilan yang satu ini. Dan bagi kita sebagai penonton, Caramel memberikan suatu tontonan manis yang tersaji dengan begitu enak akan jalinan kisah dan eksekusi yang apa adanya namun sangat pas dan tidak perlu memberikan suatu rangkaian akhir yang bahagia.

Senin, 23 Agustus 2010

The Expendables (2010)


Cast: Sylvester Stallone, Jason Statham, Jet Li, Dolph Lundgren, Eric Roberts, Randy Couture, Steve Austin, David Zayas, Mickey Rourke
Director: Sylvester Stallone
Writers: Dave Callaham, Sylvester Stallone
Genre: Action
Rating: 4/10

Filmography paling berkesan dari seorang Sylvester Stallone boleh dibilang hanya Rocky dan Rambo. Meskipun ada beberapa filmnya yang menuai banyak pujian tapi diluar 2 franchise besar tersebut nyaris semua film-filmnya kurang menarik dan flop dalam peredarannya. Cercaan dan cibiran kembali diterimanya ketika di tahun 2007 ia nekad membuat kisah lanjutan dari 2 franchise tersebut yang telah dianggap selesai dan terkesan begitu memaksa sebagai proyek comebacknya. Namun secara mengejutkan hasil dari seri penutup franchise Rocky yang bertajuk Rocky Balboa ini sukses mendapat respon positif. Begitupun dengan hasil dari Rambo IV yang dirasa cukup memuaskan.

Pasca keberhasilan lewat proyek comebacknya, Stallone tentunya kembali dipercaya para produser guna mewujudkan proyek-proyek terbarunya. Salah satunya adalah The Expendables.

The Expendables adalah sebuah julukan bagi kelompok semacam tentara bayaran yang dipimpin oleh Barney Ross (Stallone) beserta rekannya Lee Christmas (Statham), Yin Yang (Li), Gunnar Jensen (Lundgren), Hale Caesar (Crews) dan Toll Road (Couture) yang mendapat tawaran dari Church (Willis) untuk menghancurkan kekuasaan Jendral Garza (Zayas) yang bekerja sama dengan James Munroe (Roberts). Misi tersebut semakin bertambah tugas ketika Sandra (Itie) seorang gadis lokal yang membantu Barney menyusup, tertangkap dan dijadikan sandera.

Dilihat dari sinopsis yang ada The Expendables terlihat begitu klise dan pada kenyataannya memang benar adanya. Bertaburnya aktor-aktor ternama tidak dibarengi oleh kisah yang menarik. Entah apa yang ada dipikiran Stallone selaku penulis naskah bersama Dave Callaham. Menyimak dari keseluruhan cerita sebenarnya saya dibuat bingung oleh beberapa elemen kisah yang tidak jelas asal muasalnya. Satu contoh, apa sebenarnya yang terjadi dinegara sang Jendral dan mengapa pula ia mau-maunya tunduk pada partnernya yang jelas-jelas itu bukan daerah kekuasaannya. Lalu apa pula hubungannya dengan Church sehingga ia mau menjungkirbalikan kekuasaan sang Jendral? Atau hanya saya yang kurang menyimak alur cerita dengan baik? Ah, sudahlah lagian tidak terlalu penting dan menarik juga.

Cerita yang tidak menarik tadi semakin diperparah oleh adegan action yang tersaji apa adanya. Adegan baku hantam, adu tembak beserta ledakan yang ada terasa begitu biasa dan kurang asyik untuk dinikmati. Sebagai film aksi yang dipenuhi para cast yang begitu machoism harusnya film ini mampu memberikan suguhan aksi yang lebih dari ini.

Dari deretan cast pun tampaknya tidak cukup membantu guna mengatrol isi film. Kehadiran bintang action masa kini dan lampau terasa begitu mubazir adanya. Dan tentunya hal ini merupakan kegagalan Stallone dalam memberikan porsi seimbang pada masing-masing karakter, sehingga tidak satupun dari karakter yang hadir terasa begitu berkesan. Kemunculan Arnold Schwarzenegger dan Bruce Willis pun patut disesalkan disini. Kemunculan mereka berdua sudah jelas hanya untuk kepentingan komersil belaka. Cameo yang sangat tidak penting.

Dimata saya pribadi apa yang disuguhkan Stallone lewat proyek terbarunya ini jelas sudah gagal dalam mengemban misinya. Untuk cerita sama sekali tidak menarik, urusan adegan laga jelas kekurangan amunisi pemicu adrenalin. Castnya begitu menarik hingga menciptakan ekspektasi tinggi bagi siapapun tapi sayang hasil akhirnya justru buruk nan mengecewakan. Dengan percaya dirinya pihak studio mematok jadwal edar dimusim panas akhirnya membuat saya percaya diri pula memilih film ini sebagai tontonan terburuk musim panas.

Senin, 16 Agustus 2010

The Lovely Bones (2009)


Cast: Saoirse Ronan, Rachel Weisz, Mark Wahlberg, Susan Sarandon, Stanley Tucci
Director: Peter Jackson
Writers: Fran Walsh, Philipa Boyens, Peter Jackson & Alice Sebold (novel)
Genre: Drama, Fantasi, Thriller
Release Date: 7 April 2010 (Indonesia)
Rating: 6/10

Tahun lalu ada satu film yang mungkin begitu ditunggu-tunggu para moviegoer karena faktor yang berada dibelakangnya adalah satu nama sineas yang melejit ketika dengan sukses mempersembahkan trilogi The Lord of the Rings, Peter Jackson. Film tersebut bertajuk The Lovely Bones. Meski terasa sedikit lebay ketika meyajikan kisah remake lewat King Kong namun tetap saja para penggemarnya setia menunggu dengan antusias tinggi ketika mendengar Jackson akan memulai proyek barunya.

Setelah hanya duduk sebagai produser dan mejeng tampil nama menjadi embel-embel penglaris satu film mengejutkan Distric 9, akhirnya setelah hampir 4 tahun ia kembali duduk di kursi penyutradaraan mengarahkan film yang naskahnya ia tulis bersama Fran Walsh dan Philippa Boyens dengan cerita berdasarkan novel karangan Alice Sebold. Melihat hasil yang mengagumkan dalam menerjemahkan novel karya J.R.R Tolkien tentunya menjadi suatu jaminan akan hasil yang 'tak mengecewakan untuk proyek adaptasinya kali ini.

Selain adanya nama Jackson, barisan cast yang hadirpun tentunya menambah kepenasaran akan film ini. Tengok saja hadirnya para aktor/aktris peraih nominasi Oscar seperti Saoirse Ronan aktris muda yang melesat lewat Atonement, sicantik Rachel Weisz lalu Mark Wahlberg kemudian Susan Sarandon dan Stanley Tucci yang tentunya menimbulkan ekspektasi tinggi akan hasil film ini kelak.

Kisahnya sendiri lebih menitik beratkan pada kisah Susie Salmon (Ronan) ketika sebelum dan sesudah meninggal karena tragedi pembunuhan atas dirinya yang dilakukan oleh George Harvey (Tucci). Dengan durasi lebih dari dua jam kita disuguhi cerita didunia nyata yang melingkupi kehidupan orang-orang disekitar Susie dan juga perkembangan kasus pembunuhan atas dirinya lalu suguhan cerita didunia setelah kematian-nya Susie.

Ekspektasi tinggi yang saya sebutkan tadi sebenarnya mulai rontok dan mulai timbul keraguan ketika trailer dari film ini saya saksikan. Didalam trailer tersebut dengan begitu leluasanya ditampilkan sosok sang pembunuh yang dilakoni oleh Stanley Tucci. Nah lalu apa lagi yang akan dihadirkan? masih adakah teka-teki lain dibalik cerita film ini? Bagi saya yang belum membaca novelnya (yang menurut orang kebanyakan bagus) satu yang membuat penasaran adalah tampilan visual alam setelah kematian yang begitu menakjubkan diterjemahkan oleh Jackson.

Setelah dipenghujung akhir tahun 2009 film ini 'tak kunjung-kunjung datang menjambangi bioskop tanah air akhirnya dibulan April The Lovely Bones pun dirilis. Namun itu pun tidak secara merata perilisannya, mungkin hanya para penonton Jakarta lah yang beruntung menontonnya sementara di kota-kota lain termasuk Bandung (yang sampai saat ini masih terpampang posternya dengan bertuliskan "coming soon") harus gigit jari dan terpaksa menikmatinya lewat media butleg atau menunggu perilisan dvd-nya.

Rasa kepenasaran saya pun usai sudah dengan hasil yang ternyata biasa-biasa saja setelah menonton The Lovely Bones. Keasyikan menonton tentu saja terganggu akibat suguhan spoiler yang tidak tanggung-tanggung dan ternyata memang tidak ada teka-teki atau misteri lain lagi yang disuguhkan. Mungkin dengan tidak menonton trailer atau pun membaca novel dan menyimak berbagai review yang ada sebenarnya dari awal pun kita sudah tahu apa yang akan dialami oleh karakter Susie Salmon sendiri lewat narasi yang ia bacakan sepanjang film berjalan. Jadi tentunya bagi saya tidak memberikan kejutan tersendiri. Yang saya rasa hanya sebuah tontonan cerita drama biasa namun dengan visual indah. Visualisasi alam setelah kematian memang digambarkan begitu mengagumkan lewat tampilan warna-warna yang menyejukan mata seperti yang diperlihatkan dalam trailer namun selebihnya terasa begitu lebay ditampilkan khususnya ketika Susie dan temannya Holly menikmati kebersamaan mereka di dunia tersebut.

Dari deretan cast, sebenarnya tidak ada yang begitu berkesan. Saoirse Ronan boleh lah dengan akting dan kecantikannya yang terlihat makin meningkat setelah Atonement. Namun bagi cast lain seperti Mark Wahlberg, Rachel Weisz dan Susan Sarandon begitu biasa kehadirannya mungkin disebabkan pula oleh terbatasnya skenario bagi mereka. Dan yang menjadi sorotan tentunya Stanley Tucci yang sebelumnya saya nikmati lewat perannya sebagai pria ceria dengan sedikit kemayu lewat The Devil Wears Prada dan Julie & Julia. Aktingnya disini ternyata tampil baik tapi kok tidak terasa istimewa ya? Mungkin yang membuat dirinya masuk sebagai nominator di ajang Golden Globe dan Academy Award dikarenakan pembawaan karakternya yang tenang namun begitu berbahaya lewat ekspresi mimik wajah dan gerak tubuhnya dan selebihnya terasa biasa dan wajar saja jika ia tidak menang.

Cukup disayangkan memang begitu mengetahui akan hasil dari film terbarunya Jackson ini. Boleh dibilang Jackson gagal dalam menghadirkan cerita yang terasa thriller di trailer tapi akhirnya tidak terasa. Sebuah drama tentang keluarga yang harusnya dilanda kesedihan begitu dalam akan kematian anggotanya keluarganya tercinta tidak terasa lewat interaksi sesamama anggota keluarga yang terlihat tidak begitu klop. Eksekusinya sendiri pun terasa terlalu terburu-buru dan terkesan begitu tidak adil bagi Susie dan keluarganya. Diluar itu semua mungkin nilai yang cukup kita berikan pada visualisasinya. Jika tidak adanya Avatar atau Alice in Wonderland rasanya dunia kematiannya The Lovely Bones akan menjadi begitu menakjubkan. Tidak begitu parah memang akan hasil dari film terbarunya ini. Namun akhirnya The Lovely Bones sendiri menjadi sebuah film yang tidak begitu berkesan karena tampilannya yang terasa begitu biasa diluar visualnya. Dan satu lagi kegagalan misi Jackson adalah tidak ikut sertanya emosi penonton menuju puncaknya film ini. Sayang memang.

Rabu, 11 Agustus 2010

Salt (2010)


Cast: Angelina Jolie, Liev Schreiber, Chiwetel Ejiofor
Director: Phillip Noyce
Writer: Kurt Wimmer
Genre: Action, Thriller
Rating: 7/10

Dilihat dari formula yang biasa dipakai dalam film bergenre action setuju atau tidak tampaknya genre yang satu ini memang khusus ditujukan bagi para penonton kaum adam. Tapi tidak menutup kemungkinan para kaum hawa pun menikmati tontonan yang biasa menjejalkan adegan pemacu adrenalin nan berbahaya seperti kejar-kejaran super cepat, adu tembak antar senjata super canggih atau baku hantam antar pemain. Namun lain hal bagi saya pribadi yang dari dulu memang kurang begitu berminat dengan genre yang satu ini dengan alasan yang sampai sekarang saya pun tidak tahu pasti.

Hingga ketika akhir bulan Juni saya tidak sengaja masuk dan menonton film bergenre action, thriller namun berbalut comedy Knight and Day. Ketidak sengajaan ini dikarenakan saya dan beberapa teman yang sebelumnya hendak menonton Eclipse namun sayang tiket saga tersebut sold out dan akhirnya kami memutuskan untuk menonton film yang dibintang utamai oleh Tom Cruise dan Cameron Diaz. Dan cukup kaget juga atas apa yang saya rasa ketika usai menonton film ini. Walau beberapa pendapat menyatakan bahwa Knight and Day kurang begitu bagus tapi bagi saya film tersebut benar-benar fun dan menjadi titik awal bagi saya menyukai film bergenre action.

Lalu bulan ini datang kembali satu film action, thriller bertajuk Salt yang awalnya diperuntukan bagi Tom Cruise namun entah mengapa akhirnya Cruise memutuskan mundur dan lebih memilih Knight and Day sebagai proyek comeback-nya. Apakah Salt dirasa kurang greget dari segi action atau cerita? Akhirnya saya pun memutuskan untuk menonton film ini karena rasa penasaran tadi dan tentu saja karena sang pelakon utamanya adalah Angelina Jolie. Salt mengisahkan seorang agen CIA bernama Evelyn Salt (Jolie) yang dituduh sebagai mata-mata dari Rusia. Misinya yaitu membunuh presiden Rusia ketika berkunjung ke Amerika. Tidak menerima tuduhan tersebut akhirnya Salt pun melarikan diri yang tentu saja hal ini membuat curiga rekan-rekannya Ted Winter (Schreiber) dan Peabody (Ejiofor).

Seperti tagline filmnya sendiri Who is Salt? Sepanjang durasi film kita terus dijejali pertanyaan siapakah Salt dan apa yang hendak ia tuju? Sepanjang film juga karakter Salt dihadirkan dengan begitu abu-abu. Kita tidak tahu kearah mana Salt sebenarnya berpihak sehingga membuat kita sebagai penonton jadi begitu nyaman dalam mengikuti arahnya jalan cerita yang dari awal hingga akhir hampir dipenuhi scene menegangkan ditambah hadirnya twist yang membuat kita cukup terkaget-kaget akan fakta yang ada.

Filmnya sendiri memang dipenuhi adegan aksi yang bisa dibilang membahayakan mengingat sang pelaku utamanya adalah seorang wanita. Disini Jolie tampil begitu sangar nan nekat dalam setiap aksi yang ditampilkannya. Perannya sebagai agen mata-mata begitu mantap dihadirkan. Eksprsesi dari mimik dan gerak tubuhnya begitu serius ia tampilkan sampai kehal-hal kecil sekalipun. Perhatikan ketika ia berlari!!! Ia tampak seperti agen yang benar-benar terlatih yang bisa kita lihat dari caranya mengatur nafas agar mampu berlari dengan cepat. Melihat aksinya yang memang begitu super tangguh namun tidak lebay dan tidak berada diluar nalar akhirnya mau tidak mau saya harus membandingkan dengan aksi Tom Cruise yang saya saksikan sebelumnya. Jika disandingkan, fakta yang ada (menurut saya) aksi dari Jolie begitu hebat sehingga Cruise pun tidak ada apa-apanya.

Phillip Noyce selaku sutradara meski bebrapa review yang saya baca nyatanya ia tidak menghadirkan sesuatu yang baru dalam hal aksi ataupun cerita tapi bagi saya yang nyatanya baru memulai suka akan genre action, Noyce boleh dibilang berhasil dalam menyuguhkan suatu aksi yang menegangkan dan membuat penasaran akan akhir dari cerita. Meski eksekusi dari film ini membuat gusar para penonton termasuk saya namun apa yang dihadirkan dari awal sudahlah bagus sehingga jika endingnya memang membuat penonton penasaran rasanya memang tepat guna terbukanya suatu sekuel yang pastinya akan sangat ditunggu oleh para moviegoer yang kadung jatuh hati akan aksi dari Salt.

Senin, 09 Agustus 2010

The Last Airbender (2010)


Cast: Noah Ringer, Dev Patel, Nicola Peltz, Jackson Rathbone
Director: M. Night Shyamalan
Writer: M. Night Shyamalan
Genre: Action, Adventure, Fantasy
Rating: 4/10

Sangat disayangkan memang ketika mengetahui satu serial animasi sukses dengan sokongan cerita kuat Avatar: The Last Airbender akhirnya dikendalikan oleh sutradara yang kapasitasnya kini sangat diragukan, M. Night Shyamalan. Bukti nyata bisa kita lihat dengan semakin menurunnya kualitas dari setiap karya yang ia telurkan. Tengok saja dua film terakhir besutannya Lady in the Water dan The Happening. Jauh dari nilai berkesan dan tidak ditemukan adanya twist dari tangan seorang sineas yang dulu disebut-sebut sebagai spesialis penyaji twist.

Satu hal lagi yang membuat serial animasi ini begitu sayang ditangani oleh Shyamalan adalah kenyataan bahwa The Last Airbender masuk dalam genre adventure, fantasi. Sementara kita tahu sendiri genre ini bukanlah lahan miliknya. Selama ini berkutatnya ia dengan drama, mystery, thriller saja boleh dibilang gagal dalam penyajian. Lalu apa pasal ia beralih territory? Ingin coba-coba Shyamalan? Rasanya suatu kesalahan besar menjadikan The Last Airbender sebagai proyek uji cobanya. Bukan apa-apa, terlepas dari karya-karya melempemnya, The Last Airbender merupakan serial animasi yang telah memiliki fanbasenya sendiri. Sehingga, jika proses pemindahan ke layar lebar menuai hasil yang 'tak menyamai serial animasinya tentu akan mengecewakan seluruh fans atau orang-orang yang kadung jatuh hati akan cerita animasi ini. Dan yang paling jelas terkena dampak sial dari semua tentunya sang dalangnya sendiri.

Kekecewaan, ketidakpercayaan dan pandangan sebelah mata akan Shyamalan menangani proyek ini akhirnya terbukti ketika awal Agustus akhirnya film adaptasi ini menjambangi Indonesia. Kisah berawal dari kakak beradik, Sokka dan Katara yang secara tidak sengaja menemukan perwujudan Avatar yang selama ini dicari-cari dalam diri seorang bocah bernama Aang. Dia merupakan satu-satunya pengendali udara terakhir yang menguasai empat elemen air, bumi, api dan tentunya udara. Ia ditakdirkan menjadi seorang avatar yang nantinya mempunyai tugas untuk mengakhiri perang yang selama ini berlangsung.

Awal cerita yang menarik sebenarnya. Namun entah mengapa Shyamalan gagal dalam menunaikan tugasnya. Tidak ada yang menarik atas apa yang ia hadirkan. Setting yang ada terasa begitu biasa karena mungkin kita sudah disuguhi oleh film-film bergenre sejenis yang memang begitu berhasil dalam menampilkan visualisasi juga alur cerita. Dari segi visual effectpun tidak ada yang baru. Hal tersebut semakin diperparah oleh gagalnya proses transformasi para tokoh kartun ke perwujudan manusia.

Kita mulai dengan Aang, secara fisik boleh lah namun EKSPRESINYA MANA EKSPRESINYA? Noah Ringer sang pelakon Aang begitu datar aktingnya. Lalu Katara, dimana di serial animasinya ia digambarkan sebagai sosok gadis belia yang tangguh. Namun apa yang terjadi ketika sosoknya hadir lewat Nicola Peltz? Bukan hanya secara fisik namun karakternya tampak begitu kekurangan darah dengan mimik muka yang begitu capek. Begitu pun Sokka, lewat Jackson Rathbone tidak tersirat sedikitpun wajah bego seperti diserialnya. Satu lagi karakter yang memang begitu penting akan kehadirannya yaitu Prince Zuko. Mengapa harus orang India yang mengisi? Begitu pun sang paman yang tidak tampak berwibawa lewat Shaun Toub yang sialnya malah tampak seperti seorang bawahan dengan wardrobenya yang lusuh. Poin plusnya mungkin tidak ikut sertanya (kembali) Shyamalan dan berakting dalam filmnya ini. Tapi, alih-alih dirinya absen ia malah mengikut sertakan rombongan Indianya dalam Fire Nation.

Malang bagi Shyamalan. Ketika ia akan mencoba kembali berdiri sialnya malah tersandung kembali batu yang begitu besar. Namun sepertinya untung masih dapat diraih olehnya mengingat hasil box office di Amerika Utara meski tidak begitu fantastis, The Last Airbender mampu menembus angka diatas $100 juta. Jadi, kemungkinan akan adanya sekuel? Pasti.

Senin, 02 Agustus 2010

Bangkok Traffic (Love) Story (2010)


Cast: Sirin Horwang, Theeradej Wongpuapan, Unsumalin Sirasakpatharamaetha
Director: Adisorn Trisirikasem
Genre: Comedy, Romance
Country: Thailand
Rating: 7/10

Selain India dan Cina/Hongkong, Thailand termasuk salah satu negara (Asia) yang perkembangan dunia filmnya bisa dibilang paling pesat. Bukti nyata bisa kita lihat dengan diterima produk-produk filmnya dibeberapa negara luar (termasuk Indonesia) juga tertariknya para filmaker Hollywood untuk mendaur ulang beberapa film asal negeri gajah putih tersebut. Sebut saja Shutter dan Bangkok Dangerous yang telah kita saksikan lewat sajian formula Hollywood yang kita tahu sendiri bagaimana hasilnya. Setelah kita (cukup) berhasil ditakut-takuti sajian horror lewat Phobia 2 kembali sineas Thailand mencoba menghibur penonton Indonesia lewat genre komedi romantisnya yang bertajuk Bangkok Traffic (Love) Story yang secara mengejutkan film ini mampu mengalahkan Phobia 2 dalam perolehan laba.

Bangkok Traffic (Love) Story mengisahkan seorang wanita dewasa bernama Mei Li (Sirin Horwang) yang frustasi karena diusianya yang telah memasuki 30tahun tidak juga kunjung menikah. Jangankan menikah punya pacar pun tidak. Dirinya semakin kebingungan ketika sahabat satu-satunya akhirnya menikah juga dan akhirnya tinggal ia sendiri yang lajang. Tepat dihari pernikahan sahabatnya ia mabuk berat karena saking frustasinya. Akibatnya mobil yang ia kendarai mengalami kecelakaan dan ditolong oleh warga yang kebetulan sedang berada di lokasi termasuk Lung (Theeradej Wongpuapan). Seketika Mei Li merasakan bahwa Lung adalah pria yang selama ini dicarinya. Ia pun berusaha mencari beberapa cara agar lebih dekat dengan Lung termasuk meminta bantuan Plern (Unsumalin Sirasakpatharamaetha). Tapi bukannya jalan yang mudah yang ia dapat karena ternyata Plern juga tertarik akan Lung.

Sinopsisnya memang terlihat begitu sederhana mirip dengan kisah-kisah percintaan pada umumnya sehingga terkesan klise. Namun ternyata apa yang dihadirkan film ini sangatlah menghibur. Tujuan akan suatu tontonan yang lucu namun romantis berhasil disuguhkan. Dari awal kita sudah disuguhi opening scene yang benar-benar menggelitik dan kelucuan demi kelucuan semakin tersaji dari tingkah sang pelaku utama Mei Li yang membuat kita tertawa puas. Terlihat slapstick memang namun slapstick disini bukan khasnya Amerika melainkan hadir dengan sajian berbeda sehingga tetap enak untuk ditonton. Aroma komedinya memang begitu kentara namun bukan berarti sisi romantisnya pun kurang. Diawal kita memang dibuat terus tertawa namun ketika memasuki bagian ending kita akan disuguhi rentetan scene yang mellow namun bukan berarti membuat penonton jenuh (khususnya bagi laki-laki). Cinta yang didapat antara Mei Li dan Lung tidaklah disatukan dengan begitu mudahnya seperti halnya film-film rom-com kebanyakan sehingga ending yang ada pun tampak begitu realistis.

Sirin Horwang sebagai cast utama tampil begitu berhasil meyakinkan penonton akan sosok wanita yang sudah mulai frustasi akan jodoh. Ketololan nan ceroboh juga kelakuan konyolnya dalam merebut hati Lung ditambah ekspresi wajahnya benar-benar tidak bisa membuat kita menahan tawa. Disatu sisi dia berhasil menampilkan sosok yang ceria namun disisi lain ia berhasil menampilkan pribadi yang merana dikala kehilangan cinta. Sementara bagi Theradeej Wongpuapan dilihat dari kapasitas aktingnya tampak biasa-biasa saja namun jika ditilik dari aura fisiknya tentunya hadir lebih dari cukup. Kehadirannya benar-benar charming disini dan sangat cocok untuk dijadikan sebagai idola kaum hawa.

Satu lagi yang menjadi nilai plus bagi film ini adalah begitu pintarnya sang sutradara Adisorn Trisirikasem. Selain menampilkan suatu tontonan yang menghibur namun ia pun nampak seperti sedang mempromosikan negara kelahirannya sendiri. Dimulai dari beberapa transportasi, meski terlihat biasa dan hampir sama dengan transportasi yang ada di Indonesia tapi anehnya angkutan umum tersebut tampak begitu asyik untuk dicoba. Selain itu Adisorn juga menyajikan beberapa kebudayaan khas Thailand. Sehingga apa yang ada di Bangkok Traffic (Love) Story seharusnya patut dicontoh bagi para sineas Indonesia.